PENDAHULUAN
Wafatnya
Rasulullah SAW menandai berakhirnya pembentukan syari'at Islam. Para sahabat
sebagai perpanjangan tangan Nabi dalam melestarikan dan mengembangkan Islam
dihadapkan pada persoalan sosial yang sangat kompleks. Namun kepergian beliau
tidak berarti berakhirnya pembentukan hukum Islam. Rasulullah SAW telah
meninggalkan warisan yang sangat berharga untuk dipedomani oleh umatnya, yaitu
Al-Qur'an dan Al-Sunnah.
Sehubungan persoalan umat semakin berkembang dan tidak mungkin semuanya
terakomodasi dalam al-Qur’an dan sunnah, maka jauh-jauh hari Rasulullah telah
memberikan contoh melalui pembicaraannya dengan Mu’az bin Jabal, bahwa
penyelesaian persoalan umat itu berpedoman kepada al-Qur’an atau sunnah, kalau
tidak ditemukan solusinya maka diselesaikan melalui ijtihad yang tentu saja
tidak boleh bertentangan dengan kedua sumber utama tersebut.
Dengan berpedoman kepada pesan ini, para sahabat dan tabi’in kemudian
berijtihad disaat mereka tidak menemukan dalil dari al-Qur’an atau sunnah yang
secara tegas mengatur suatu persoalan. Ijtihad para sahabat dan tabi'in inilah
kemudian yang melahirkan fiqih. Perbedaan kuantitas hadits oleh kalangan
tabi'in, ditambah pula perbedaan mereka dalam menetapkan standar kualitas
hadits serta situasi dan kondisi daerah yang berbeda menyebabkan terjadinya
perbedaan dalam hasil ijtihad mereka. Selain itu perbedaan hasil ijtihad juga
ditunjang oleh kadar penggunaan nalar (rasio), yang pada akhirnya menyebabkan
timbulnya beberapa mazhab dalam fiqih.
Di
dalam makalah ini penyusun mencoba memberikan penjelasan mengenai metode
penetapan hukum islam menurut empat
mazhab yakni mazhab Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad
ibn Hanbal. sistem istinbath masing-masing imam mazhab yang empat, yaitu imam,
imam.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin…
Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin…
BAB II
METODE PENETAPAN HUKUM ISLAM
METODE PENETAPAN HUKUM ISLAM
MENURUT EMPAT MAZHAB
Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dan menjadi bagian dari agama
islam. Sebagai sistem hukum, hukum islam tidak boleh dan tidak dapat disamakan
dengan sistem hukum yang lain yang pada umumnya terbenruk dan berasal dari
kebiasaan – kebiasaan masyarakat dan hasil pemikiran serta budaya manusia pada suatu saat di suatu masa.
Berbeda dengan sistrem hukum yang lain, hukum islam tidak hanya merupakan hasil
pemikiran yang dipengaruhi oleh kebudayaan manusia di suatu tempat di suatu
masa, tetapi dasarnya ditetapkan oleh Allah Swt melalui wahyu-Nya yang kini
terdapat dalam al-Qur’an dan dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai
Rasul-Nya melalui Sunnah beliau yang kini terhimpun dengan baik dalam
kitab-kitab Hadits. Dasar inilah yang
membedakan hukum islam secara fundamental dengan hukum – hukum lain yang semata-mata lahir dari kebiasaan
dan hasil pemikiran atau buatan manusia belaka.
Jika kita berbicara tentang hukum, yang terlintas dalam pikiran kita
adalah peraturan – peraturan atau seperangkat norma yang mengatur tingkah laku
manusia dalam suatu masyarakat. Bentuknya mungkin hukum tidak tertulis mungkin
juga berupa hukum tertulis. Hukum dalam konsepsi hukum barat adalah hukum yang
sengaja dibuat oleh manusia untuk mengatur hubungan manusia lain dan benda
dalam masyarakat. Adapun konsepsi hukum Islam, dasar kerangkanya dari Allah
swt. Hukum tersebut mengatur hubungan manusia dengan Illah, hubungan manusia
dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dalam masyarakat
dan hubungan manusia dengan benda serta alam sekitar.
Perkataan hukum yang
dipergunakan sekarang dalam Bahasa Indonesia berasal dari kata hukum dalam
Bahasa Arab. Artinya norma atau kaidah, yakni ukuran, patokan, pedoman yang
dipergunakan untuk menilai tingkah laku
atau perbuatan manusia dan benda. Setiap peraturan mengandung norma atau
kaidah sebagai intinya. Dalam ilmu hukum, kaidah itu disebut hukum. Yang
dimaksud, seperti telah disebut di atas, adalah patokan, tolak ukur, ukuran
atau kaidah mengenai perbuatan atau benda itu (Mohammad Daud Ali, 1999 : 39).
2.1.
Pengertian Hukum Islam
Hukum
Islam merupakan rangkaian dari kata "hukum" dan kata
"Islam". Kedua kata itu secara terpisah merupakan kata yang digunakan
dalam bahasa arab dan banyak terdapat dalam Al-Qur'an dan juga dalam bahasa
Indonesia baku. "Hukum Islam" sebagai suatu rangkaian kata telah
menjadi bahasa Indonesia yang hidup dan terpakai, namun bukan merupakan kata
yang terpakai dalam bahasa Arab dan tidak ditemukan dalam Al-Qur'an; juga tidak
ditemukan dalam literatur yang berbahasa Arab. Karena itu tidak akan menemukan
artinya secara definitif.
Untuk
memahami pengertian Hukum Islam perlu terlebih dahulu diketahui kata
"hukum" dalam bahasa Indonesia, kemudian pengertian hukum itu
disandarkan kepada kata "Islam". Ada kesulitan dalam memberikan
definisi kepada kata "hukum", karena setiap definisi akan mengandung
titik lemah. Karena itu untuk memudahkan memahami pengertian "hukum",
berikut ini akan diketengahkan definisi hukum dalam arti yang sederhana, yaitu:
seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang diakui sekelompok
masyarakat; disusun oleh orang yang diberi wewenang oleh masyarakat itu;
berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya". Definisi tersebut tentunya
masih mengandung kelemahan, namun dapat memberikan pengertian yang mudah
dipahami. Bila kata "hukum" dalam pengertian diatas dihubungkan
dengan kata "Islam" atau "syara'", maka "hukum
Islam" akan berarti: "seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah
SWT dan atau sunnah Rasulullah SAW tentang tingkah laku manusia mukallaf yang
diakui dan diyakini mengikat untuk semua yang beragama Islam". Kata
"seperangkat peraturan" menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan hukum
Islam itu adalah peraturan-peraturan yang dirumuskan secara terperinci dan
mempunyai kekuatan yang mengikat. Kata "yang berdasarkan wahyu Allah SWT
dan sunnah Rasulullah SAW" menjelaskan bahwa perangkat peraturan itu
digali dari dan berdasarkan kepada wahyu Allah SWT dan sunnah Rasulullah SAW,
atau yang populer dengan sebutan "syari'ah".
Kata "tentang tingkah laku manusia mukallaf" mengandung arti bahwa hukum Islam itu hanya mengatur tindak lahir dari manusia yang dikenai hukum. Peraturan tersebut berlaku dan mempunyai kekuatan terhadap orang-orang yang meyakini kebenaran wahyu Allah SWT dan sunnah Rasulullah SAW itu, yang dimaksud dalam hal ini adalah umat Islam.
Kata "tentang tingkah laku manusia mukallaf" mengandung arti bahwa hukum Islam itu hanya mengatur tindak lahir dari manusia yang dikenai hukum. Peraturan tersebut berlaku dan mempunyai kekuatan terhadap orang-orang yang meyakini kebenaran wahyu Allah SWT dan sunnah Rasulullah SAW itu, yang dimaksud dalam hal ini adalah umat Islam.
Sementara itu, kata “hukum Islam” juga
berhubungan dengan kata “syari’ah”. Secara leksikal syari’ah berarti “jalan ke
tempat pengairan” atau “jalan yang harus diikuti”, atau “tempat lalu air di
sungai”. Arti terakhir ini digunakan orang Arab sampai sekarang untuk maksud
kata “syari’ah”.
Di antara para pakar Hukum Islam memberikan definisi kepada syari’ah itu dengan “Segala titah Allah yang berhubungan dengan tingkah laku manusia di luar yang mengenai akhlak”. Dengan demikian syariah itu adalah nama bagi hukum-hukum yang bersifat amaliah. Di antara ulama ada yang mengkhususkan lagi penggunaan kata syari’ah itu dengan “apa yang bersangkutan dengan peradilan serta pengajuan perkara kepada mahkamah dan tidak mencakup kepada halal dan haram”. Seorang ulama bernama Qatadah menurut yang diriwayatkan oleh al-Thabari, ahli tafsir dan sejarah, sebagaimana yang dikutip oleh Amir Syarifuddin, menggunakan kata syari’ah kepada hal yang menyangkut kewajiban, hak, perintah dan larangan; tidak termasuk di dalamnya aqidah, hikmah dan ibarat yang tercakup dalam agama. Mahmud Syaltut mengartikan syari’ah dengan “hukum-hukum dan aturan-aturan yang ditetapkan Allah bagi hambanya untuk diikuti dalam hubungannya dengan Allah dan hubungannya dengan sesama manusia dan alam sekitarnya”. Dr. Farouk Abu Zeid menjelaskan bahwa syari’ah ialah “apa-apa yang ditetapkan Allah melalui lisan Nabinya. Allah adalah pembuat syari’ah yang menyangkut kehidupan agama dan kehidupan dunia”.
Di antara para pakar Hukum Islam memberikan definisi kepada syari’ah itu dengan “Segala titah Allah yang berhubungan dengan tingkah laku manusia di luar yang mengenai akhlak”. Dengan demikian syariah itu adalah nama bagi hukum-hukum yang bersifat amaliah. Di antara ulama ada yang mengkhususkan lagi penggunaan kata syari’ah itu dengan “apa yang bersangkutan dengan peradilan serta pengajuan perkara kepada mahkamah dan tidak mencakup kepada halal dan haram”. Seorang ulama bernama Qatadah menurut yang diriwayatkan oleh al-Thabari, ahli tafsir dan sejarah, sebagaimana yang dikutip oleh Amir Syarifuddin, menggunakan kata syari’ah kepada hal yang menyangkut kewajiban, hak, perintah dan larangan; tidak termasuk di dalamnya aqidah, hikmah dan ibarat yang tercakup dalam agama. Mahmud Syaltut mengartikan syari’ah dengan “hukum-hukum dan aturan-aturan yang ditetapkan Allah bagi hambanya untuk diikuti dalam hubungannya dengan Allah dan hubungannya dengan sesama manusia dan alam sekitarnya”. Dr. Farouk Abu Zeid menjelaskan bahwa syari’ah ialah “apa-apa yang ditetapkan Allah melalui lisan Nabinya. Allah adalah pembuat syari’ah yang menyangkut kehidupan agama dan kehidupan dunia”.
2.2
Pengertian Mazhab
Menurut
bahasa, mazhabمذهب) ) berasal dari shighah mashdar mimy (kata sifat) dan isim
makan (kata yang menunjukkan tempat) yang diambil dari fi'il madhy
"dzahaba" (ذهب) yang berarti "pergi". Bisa juga berarti al-ra'yu (الرأى) yang
artinya "pendapat". Sedangkan yang dimaksud dengan mazhab menurut
istilah, meliputi dua pengertian, yaitu:
a.
Mazhab adalah jalan pikiran atau metode yang ditempuh oleh seorang Imam
Mujtahid dalam menetapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan kepada Al-Qur'an
dan hadits.
b.
Mazhab adalah fatwa atau pendapat seorang Imam Mujtahid tentang hukum suatu
peristiwa yang diambil dari Al-Qur'an dan hadits.
Jadi,
mazhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh Imam Mujtahid dalam
memecahkan masalah, atau mengistinbathkan hukum Islam. Selanjutnya Imam mazhab
dan mazhab itu berkembang pengertiannya menjadi kelompok umat Islam yang
mengikuti cara istinbath Imam Mujtahid tertentu atau mengikuti pendapat Imam
Mujtahid tentang masalah hukum Islam.
2.3.
Sekilas Tentang Empat Mazhab
2.3.1 Mazhab Hanafi
Kehidupan penyusun
Abu
Hanifah merupakan imam pertama dari keempat imam dan yang paling dahulu
lahir juga wafatnya. Ia mampu memeperoleh kedudukan yang terhormat dalam
masyarakat yang menghimpun faktor-faktor positif dan faktor-faktor negatif,
sehingga tidak heran ia di juluki Imam A’zham (pemimpin terbesar), ia juga
dikenal sebagai faqih irak, dan Imam Ar-Ra’y (Imam Aliran Rasional).
Beliau dilahirkan di kota Kuffah,
pada tahun 80 H (699 M), beliau benama asli Nu’mam bin Tsabit Bin Zhauth Bin
Mah, ayah beliau keturunan bangsa Persi (Kabul, Afganistan) yang menetap di
Kuffah, Tsabit bapak dari Abu Hanifah lahir sebagai seorang muslim dan diriwayatkan
dia berasal dari bangsa Anbar. Adapula ia mukim di Tirtmidz, ada lagi yang
mengatakan ia bermukim di Nisa, bisa jadi ia bermukim di tiap-tiap kota itu
sementara waktu. Ia adalah seorang pedagang yang kaya dan taat beragama,
sebagai mana ia pernah bertemu dengan Ali bin Abi Thalib, lalu sang imam
mendoakan dan keturunananya dengan kebaikan dan keberkahan.
Menurut
riwayat yang dapat dipercaya, beliau adalah wadi’
ilmu fiqh (yang mula – mula menyusun ilmu fiqh sebagaimana susunan sekarang
ini). Beberapa ulama telah bergaul dan menjadi pendukung mazhab beliau. Kemudian
sebagian dari mereka kembali menyelidiki hukum – hukum tadi dengan memeriksa dalil – dalilnya serta
disesuaikan dengan keadaan, kefaedahan dan kemudaratannya. Mereka inilah yang
dinamakan sahabat – sahabat Abu Hanifah diantaranya yaitu Abu Yusuf, Muhammad
bin Hasan dan Zufar. Mazhab ini banyak tersiar di Bagdad, Parsi, Bukhara,
Mesir, Syam dan tempat – tempat lain.
Pendidikan penyusun
Pada
masa Abu Hanifah terdapat empat sahabat, mereka adalah: Anas bin Malik,
Abdullah bin Abu Aufa, Sahl bin Sa’ad dan Abu Thufail, mereka adalah
sahabat-sahabta yang paling akhir wafat, namun Abu Hanifah tidak berguru kepada
mereka.
Mengapa
tidak berguru kepada mereka?, mungkin diantara mereka ada yang sudah wafat
sedang abu hanifah masih kecil, seperti Abdullah bin Aufa yang meninggal pada
tahun 87 hijriyah sehinggga umur abu hanifah pada waktu itu baru 7 tahun,
dan seperti abu Sahl bin Sa’ad yang wafat tahun 88 atau 91 hijriyah dan umur
Imam Hanafi baru berumur 11 tahun. Sementara Anas bin Malik wafat pada tahun 90
atau 92 atau 95 hijriyah dan kala itu abu Hanifah berumur 15 tahun dan belum
mulai mencari ilmu, ketika itu beliau masih berdagang.
Dasar – dasar
Istinbath Mazhab Imam Abu Hanifah
Mazhab Abu
Hanifah adalah gambaran yang hidup dan jelas bagi relevansi Hukum Islam
dengan tuntutan masyarakat, beliau mendasarkan mazhabnya pada :
a.
Al-Qur’an : Alqur’an merupakan sumber pokok
hukum islam sampai akhir zaman.
b.
Hadits: Hadits merupakan penjelas
dari pada Al-Qur’an yang asih bersifat umum.
c.
Aqwalus shahabah (Ucapan Para Sahabat): ucapan para
sahbat menurut Imam hanafi itu sangat penting karena menurut beliau para
sahabat meupakan pembawa ajaran rasul setelah generasinya.
d.
Qiyas: beliau akan menggunakan Qiyas apa
bila tidak ditemukan dalam Nash Al-Qur’an, Hadits, maupun Aqwalus shahabah.
e.
Istihsan: merupakan
kelanjutan dari Qiyas. Penggunaan Ar-Ra’yu lebih menonjol lagi, istihsan
menurut bahasa adalah “menganggap lebih baik”, menurut ulama Ushul Fiqh
Istihsan adalah meninggalkan ketentuan Qiyas yang jelas illatnya untuk
mengamalkan Qiyas yang bersifat samar.
f.
Urf, beliau mengambil yang sudah
diyakini dan dipercayai dan lari dalam kebutuhan serta memperhatikan muamalah
manusia dan apa yang mendatangkan maslahat bagi mereka. Beliau menggunakan
segala urusan (bila tidak ditemukan dalam Al-Qur’an ,As-Sunnah dan Ijma’ atau
Qiyas ), beliau akan menggunakan Istihsan, jika tidak bisa digunakan dengan
istihsan maka beliau kembalikan kepada Urf manusi
Pendirian Imam Abu Hanifah tentang Taqlid
Sebagai
seorang ulama, beliau tidak membenarkan seorang bertaklid buta dengan
beliau (tidak mengetahui dasar/dalil yang digunakan). Begitu juga kepada para
Ulama beliau menginginkan seorang bersikap kritis dalam menerima fatwa dalam
ajaran agama. Bahakan beliau pernah berkata “Tidak Halal bagi seorang yang yakin
fatwa dengan perkataanku, selama ia belum mengerti dari mana perkataanku”.
Dalam
mengistinbathkan hukum, beliau melihat terlebih dahulu kepada Kitabullah, bila
tidak ditemukan dilanjutkan kepada sunnah jika tidak ditemukan pula dalam
sunnah beliau melihat kepada perkataan para sahabat, lalu beliau menggunakan
jalan pikiran untuk mengambil pendapat mana yang sesuai dengan jalan pikiran
dan ditinggal mana yang tidak sesuai.
2.3.2 Mazhab Maliki
Kehidupan penyusun
Imam
Malik dilahirkan dikota Dzu Al-muruwah di selatan kota madinah, lalu pindah ke
Aqiq dan kemudian pindah ke Madinah. Menurut riwayat beliau dilahirkan di
Madinah pada tahun 93 H dan meninggal pada Bulan Safar tahun 170 H. Beliau
bernama asli Malik bin Anas bin Malik bin Abu Amir bin Amr bin Ghaimah bin Khutsail
bin Amr bin Harits ia termasuk Bani Tamim bin Murrah. Kakek keduanya, abu Amir
bin Amr adalah seorang sahabat Rasulullah SAW, sedangkan kakek pertamanya, Malik
bin Abu Amir adalah salah satu tokoh Tabi’in.
Pendidikan penyusun
Imam
Malik berguru kepada banyak guru diantaranya adalah Abdurrahman ibnu hurmuz,
Rabi’ah bi Abdurrahman Farrukh, Athi’ budak Abdullah bin Umar, Ja’far bin
Muhammad Baqir, Muhammad bin Muslim Az-Zuhri, Abdurrahman Dzakwan, Yahya bin
Sa’id Al-Anshari, Abu hazim Salamah bin Dinar, dan guru-gurunya yang lain dari
kalangan tabi’in, seperti yang di ungkapkan oleh An-Nawawi. Beliau belajar di
Madinah dan di sanalah beliau menulis Kitab Muwaththa, kitab hadits yang
terkenal sampai sekarang. Beliau menyusun kitab tersebut atas anjuran Khalifah
Mansur ketika beliau bertemu pada waktu menunaikan ibadah haji. Menurut riwayat
An-Nawawi bahwa Imam Malik berguru kepada pada 900 guru, 300 dari kalangan
tabi’in, dan 600 dari kalangan tabi’it tabi’in yang terdiri dari ulama yang ia
pilih, ia akui agamanya, fiqihnya, pemenuhan kewajiban periwayatan dan
syarat-syaratnya, serta ia percaya.
Imam
Malik adalah ahli fiqh dan hadits. Pada masanya beliau terbilang paling
berpengaruh di seluruh Hijaz. Orang menyebut beliau “Sayyid Fuqaha Al Hijaz”
(pemimpin ahli fiqh diseluruh daerah Hijaz). Beliau mempunyai banyak
sahabat (murid), diantaranya yang terkenal ialah Muhammad Bin Idris Bin Syafi’i,
Al Laisy Bin Sa’ad, Abu Ishaq Al Farazi. Pengikut mazhab ini yang tersebar di
Tunisia, Tripoli, Maghribi dan Mesir.
Dasar-dasar istinbath
Mazhab
Imam Malik adalah sebagai berikut:
a. Al-qur’an: Al-Qur’an merupakan
sumber utama dan pertama dalam pengambilan hukum. Karena Al-Qur’an adalah
perkataan Allah yang merupakan petunjuk kepada ummat manusia dan diwajibkan
untuk berpegangan kepada Al-Qur’an.
b.
Sunnah rasul yang beliau pandang
sah.
c. Ijma’ para Ulama Madinah, tetapi
beliau kadang-kadang menolak hadits apabila nyata-nyata berlawanan atau tidak
diamalkan oleh para ulama madinah.
d. Qiyas : Qiyas menurut bahasanya
berarti mengukur, secara etimologi kata itu berasal dari kata Qasa. Yang
disebut Qiyas ialah menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hukum
karena adanya sebab yang antara keduanya.
e. Mashalihul Mursalah (Istislah): Maslahah
mursalah menurut lughat terdiri atas dua kata, yaitu maslahah dan mursalah.
Kata maslahah berasal dari kata bahasa arab sholaha- yasluhu
menjadi sholhan atau mashlahatan yang berarti sesuatu yang
mendatangkan kebaikan, sedangkan kata mursalah berasal dari kata
kerja yang ditafsirkan sehingga menjadi isim maf’ul, yaitu: arsala-
yursilu- irsalan- mursalan yang berarti diutus, dikirim atau dipakai
(dipergunakan). Perpaduan dua kata menjadi “maslahah mursalah” yang
berarti prinsip kemaslahatan (kebaikan) yang dipergunakan menetapkan suatu
hukum islam, juga dapat berarti suatu perbuatan yang mengandung nilai baik
(manfaat).
Pendirian Imam Malik tentang taqlid
Beliau berkata :
“Sesungguhnya
saya adalah manusia biasa, yang dapat salah dan dapat juga benar. maka
perhatikan secara kritis pendapatku. Jika sesuai dengan kitab dan Sunnah
ambillah, dan setiap pendapat yang tidak sesuai dengan kitab dan Sunnah
tinggalkanlah. Setiap orang sesudah Nabi dapat diambil ucapannya dan dapat pula
ditinggalkan, kecuali Nabi Muhammad Shallahu alaihi wa sallam”.
2.3.3 Mazhab Syafi’i
Kehidupan penyusun
Syafi’i lahir di Gaza, palestina
pada tahun 150 Hijriyah inilah pendapat paling masyhur dikalangan ulama namun
ada juga riwayat ynag mengatakan bahwa imam syafi’i lahir di daerah Asqalan,
sebuah daerah yang berjarak kurang lebih tiga Fasakh (8KM) dari Gaza dan sejauh
dua atau tiga marhala, dari Baitul Maqdis, bahkan ada juga yang
mengatakan bahwa beliau dilahirkan di Yaman. Namun menurut An-Nawawi “pendapat
paling masyhur yang dipegang oleh jumhur ulama bahwa imam Syafi’I lahir di
Gaza”. Nama lengkap beliau adalah: Abu Abdullah bin Muhammad bin Idris bin
Abbas bin Utsman bin Syafi’I bin Sa’id bin Ubaid bin abu Yazid bin Hasyim bin
Muthalib bin Abdu Manaf, nasabnya samapai kepada Rasulullah saw, pada kakeknya
Abdu Manaf, oleh karena itu ia dikatakan tentang Syafi’i, “cucu sepupu Nabi
saw”.Kata – kata Imam Syafi’i yang sangat perlu menjadi perhatian, terutama
bagi ulama yang mendukung dan mengikuti mazhab beliau ialah :”Apabila
hadits itu sah, itulah mazhabku dan buanglah perkataanku yang timbul dari
ijtihadku”. Pengikut beliau yang terbanyak di Mesir, Kurdistan, Yaman,
Aden, Hadramaut, Mekah, Pakistan dan Indonesia.
Pendidikan penyusun
Imam Syafi’i hafal Al-qur’an ketika
umurnya masih belia. Beliau juga menghafal hadits dan berhasil menghafalnya.
Beliau sangat tertarik kepada kaidah-kaidah Arab dan kalimat-kalimatnya. Demi
hal itu ia pergi ke pedalaman dan tinggal bersama kabilah Hudzail sekitar
sepuluh tahun. Pertama beliau berguru kepada Syaikhnya, Muslim Khalid Az-Zinzi
dan imam-imam Makkah lainnya lalu beliau pergi ke Madinah kala berusia 13 tahun,
ia tetap berguru kepada Malik hingga ia wafat.
Diantara guru-guru Syafi’i di Makkah
antara lain: Muslim bin Khalid Az-Zinzi, Sufyan bin Umayah, Sa’id bin Salim
Al-Qidah, Daud bin Abdurrhaman Al-Athar, dan Abdul Hamid bin Abdul Aziz bin Abu
Daud. Dan diantara guru-gurunya di Madinah antara lain: Malik bin Anas (Imam
Malik), Ibrahim bin Sa’ad Al-Anshari, Abdul Aziz bin Muhammad Ad-darawardi,
Ibrahim bin Yahya Al-asami, Muhammad bin Sa’id bin Abdu Fadik, dan Abdullah bin
Nafi Ash-Shaigh.
Dasar-dasar mazhab Imam Syafi’i
Mazhab Imam Syafi’i adalah sebagai berikut :
a. Al-qur’an : Alqur’an merupakan
sumber pokok huku islam sampai akhir zaman.
b. Hadits : Sumber kedua dalam
menentukan hukum ialah sunnah Rasulullah SAW. Karena Rasulullah yang berhak
menjelaskan dan menafsirkan Al-Qur’an, maka As-Sunnah menduduki tempat kedua
setelah Al-Qur’an
c. Ijma’ Yang disebut Ijma’ ialah
kesepakatan para Ulama’ atas suatu hukum setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW.
Karena pada masa hidupnya Nabi Muhammad SAW seluruh persoalan hukum kembali
kepada beliau. Setelah wafatnya Nabi maka hukum dikembalikan kepada para
sahabatnya dan para Mujtahid.
d. Qiyas
e. Istishhab; Istishhab secara bahasa
adalah menyertakan, membawa serta dan tidak melepaskan sesuatu.
Pendirian Imam Syafi’I terhadap taqlid
Beliau selalu memberi peringatan
terhadap murid-muridnya agar tidak begitu saja menerima apa-apa yang
disampaikan oleh beliau dalam masalah agama, yang tidak ada nashnya dalam
Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Diantara nasihat beliau tentang taqlid buta, beliau
pernah berkata kepada muridnya yaitu Imam Ar-Rabi’ : “Ya Abi Ishak,
janganlah engkau bertaqlid kepadaku, dalam tiap-tiap yang apa aku yakini, dan
pikirkanlah benar-benar bagi dirimu sendiri karena ia adalah urusan agama”. Dari
pernyataan tersebut kiranya cukup jelas pendapat Imam Syafi’i tentang taklid
buta. Sungguh beliau sangat melarang taklid buta kepada beliau dan kepada para
ulama lainnya dalam urusan hukum-hukum agama.
2.3.4 Mazhab Hanbali
Kehidupan
penyusun
Ibnu Hanbali lahir pada tahun 164 H
di Baghdad setelah ibunya membawanya pindah ketika ia masih dalam kandungan
dari kota Marwa tempat tinggal ayahnya ke kota Bagdad. Nama lengkapnya adalah
Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin
Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin ‘Auf bin Qasit bin Mazin bin
Syaiban Al-Marwazi lalu Al-Baghdadi, nasab Ibnu Hanbal sampai kepada Rasulullah
saw, pada Nizar bin Ma’ad bin Adnan. Penisbatan Ibnu Hanbal yang terkenal
adalah kepada kakeknya Hanbal, maka orang-orang mengatakan Ibnu Hanbal.
Pendidikan penyusun
Ibnu Hanbal hafal Al-Qur’anul Karim,
mempelajari Ilmu Bahsa, dan belajar membaca dan menulis di diwan (tempat
belajar dan menulis). Ibnu Hanbal pertama kali belajar kepada Abu yusuf Ya’kub
bin Ibrahim Al-Qadhi, murid Abu Hanifah. Kepadanya ia belajar hadits dan fiqh,
karenanya Abu Yusuf dikenal sebagai guru pertama Ibnu Hanbal. Namun pengaruh
Abu Yusuf tidak begitu kuat tertanam dalam jiwa Ibnu Hanbal sehingga ada yang
berpendapat bahwa Abu Yusuf bukan guru pertamanya. Sementara guru pertamanya
adalah Hasyim bin Basyir bin Kazim Al-Wasiti, karena ia adalah guru yang paling
kuat pengaruhnya kepada Ibnu Hanbal, Ibnu Hanbal berguru kepadanya selama empat
tahun. Disela-sela berguru kepada Hasyim, Ibnu Hanbal juga berguru kepada
Umair bin Abdullah bin Khalid, Abdurrahman bin Mahdi dan Abu bakar bin Iyasy.
Imam Syafi’i adalah salah satu guru dari Ibnu Hanbal, bahkan ada yang
menganggap bahwa Syafi’I merupakan guru kedua dari Ibnu Hanbal setelah Hasyim.
Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah mengatakan “Ahmad bin Hanbal tidak lain
hanyalah merupakan salah satu pelayan Syafi’I”. Ia juga berguru kepada
Ibrahim bin Sa’ad, Yahya Al-Qathan, Waqi’ dan juga berguru kepada Sufyan bin
Uyainah (pengganti Imam Malik).
Dasar-dasar mazhab
Mazhab
Imam Ibnu Hanbal adalah sebagai berikut:
a. Al-qur’an dan Hadits: yakni beliau jika telah mnemukan
nahs dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits maka beliau tidak memperhatikan
dalil-dalil yang lain dan juga kepada pendapat para sahabat yang menyalahinya.
b. Fatwa Shahaby: yaitu ketika beliau tidak
mendapatkan nash dan beliau mendapati suatu pendapat yang tidak
diketahuinya bahwa hal itu ada yang menentangnya, maka beliau berpegang kepada
pendapat ini, dengan tidak memenadang bahwa pendapat itu merupakan ijma’.
c. Pendapat Sebagian Sahabat yaitu mengambil pendapat yang lebih
dekat kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, terrkadang beliau tidak memberikan fatwa
jika tidk memperoleh Pentarjih atas suatu pendapat.
d. Mursal atau Da’if: Mursal menurut bahasa
merupakan isim maf’ul yang berarti dilepaskan. Sedangkan hadits mursal menurut
istilah adalah hadits yang gugur perawi dari sanadnya setelah tabi’in. Seperti
bila seorang tabi’in mengatakan,”Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
bersabda begini atau berbuat begini”.
e. Qiyas: akan dipakai jika benar-benar
tidak ada ketentuan-ketentuan hukumnya dari poin a-d tersebutd di atas, namun
Qiyas ini mendapat posisi yang kecil dalam penentuan Hukum (pada masa
tersebut), namun tidak menutup kemunkinan Qiyas akan menjadi penting di masa
yang akan datang.
Pendirian Imam Ibnu Hanbal terhadap
taklid
Imam Ibnu Hanbal merupakan seorang
ahli sunnah dan ahli Atsar, dan beliau sangat keras terhadap penggunaan ra’yu,
maka demikian Imam Ibnu Hanbal paling keras terhadap taqlid buta dan orang yang
bertaqlid terhadap urusan agama. Pendirian beliau yang seperti itu dapat
dibuktikan dengan ucapannya yang beliau sampaikan kepada salah atu muridnya
seperti Imam Abu Dawud pernah mendengar bahwa Imam Ibnu Hanbal berkata
“janganlah engkau bertaqlid kepada saya, Imam Malik, Imam Syafi’I, dan
janganlah pula kepada Tsauri tetapi ambillah olehmu darimana mereka itu
mengambil”. Dari perkataan beliau, jelaslah bahwa beliau melarang keras terhadap
taqlid dan beliau memerinntahkan supaya orang mengambil segala sesuatu dari
sumber yang telah mereka ambil (para Imam)
2.4 Contoh Kasus : Qurban
"Maka laksanakanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah
(sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah)". (QS. Al Kautsar : 2)
Berqurban merupakan bagian dari Syariat Islam yang sudah ada semenjak manusia ada. Ketika putra-putra Nabi Adam AS diperintahkan berqurban. Maka Allah SWT menerima qurban yang baik dan diiringi ketakwaan dan menolak qurban yang buruk. Allah SWT berfirman, yang artinya:
Berqurban merupakan bagian dari Syariat Islam yang sudah ada semenjak manusia ada. Ketika putra-putra Nabi Adam AS diperintahkan berqurban. Maka Allah SWT menerima qurban yang baik dan diiringi ketakwaan dan menolak qurban yang buruk. Allah SWT berfirman, yang artinya:
“Dan ceritakanlah (Muhammad) yang
sebenarnya kepada mereka tentang kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil),
ketika keduanya mempersembahkan qurban, maka (qurban) salah seorang dari mereka
berdua (Habil) diterima dan yang lain
(Qabil) tidak diterima. Ia berkata (Qabil): “Sungguh, aku pasti membunuhmu!” Dia
(Habil) berkata: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang
yang bertaqwa” (QS
Al-Maaidah 27).
Qurban lain yang diceritakan dalam
Al-Qur’an adalah qurban keluarga Ibrahim AS, saat beliau diperintahkan Allah
SWT untuk mengurbankan anaknya, Ismail AS. Disebutkan dalam surat
As-Shaaffaat 102: “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha
bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat
dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” Ia
menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya
Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. Kemudian qurban
ditetapkan oleh Rasulullah SAW sebagai bagian dari Syariah Islam, syiar dan
ibadah kepada Allah SWT sebagai rasa syukur atas nikmat kehidupan
Definisi qurban
Secara
harfiah Qurban dalam bahasa Arab artinya dekat. Qurban bisa diartikan sebagai
cara untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ibadah qurban disebut juga
udzhiyah" artinya hewan yang disembelih sebagai qurban. Menurut bahasa,
Qurban berasal dari Bahasa Arab QORUBA yang berarti : dekat. Qurban
berarti Pendekatan (PeDeKaTe). Maksudnya ibadah qurban ini adalah untuk
mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala (Taqorrub). Sedangkan
menurut istilah, Qurban berarti acara penyembelihan binatang ternak yang
dilakukan pada Hari Raya Haji (Idul Adha), yaitu tanggal 10, hari Tasyrik (11,
12 dan 13) Dzulhijjah, yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.
Disyariatkannya qurban
Disyariatkannya
qurban sebagai simbol pengorbanan hamba kepada Allah SWT, bentuk ketaatan
kepada-Nya dan rasa syukur atas nikmat kehidupan yang diberikan Allah SWT
kepada hamba-Nya. Hubungan rasa syukur atas nikmat kehidupan dengan berqurban
yang berarti menyembelih binatang dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, bahwa
penyembelihan binatang tersebut merupakan sarana memperluas hubungan baik
terhadap kerabat, tetangga, tamu dan saudara sesama muslim. Semua itu merupakan
fenomena kegembiraan dan rasa syukur atas nikmat Allah SWT kepada manusia, dan
inilah bentuk pengungkapan nikmat yang dianjurkan dalam Islam:
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka
hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur)” (QS. Ad-Dhuhaa 11).
Kedua,
sebagai bentuk pembenaran terhadap apa yang datang dari Allah SWT. Allah SWT menciptakan
binatang ternak itu adalah nikmat yang diperuntukkan bagi manusia,
dan Allah mengizinkan manusia untuk menyembelih binatang
ternak tersebut sebagai makanan bagi mereka. Bahkan penyembelihan ini
merupakan salah satu bentuk pendekatan diri kepada Allah SWT. Berqurban
merupakan ibadah yang paling dicintai Allah SWT di hari Nahr, sebagaimana
disebutkan dalam hadits riwayat At-Tirmidzi dari ‘Aisyah RA. bahwa Nabi SAW
bersabda:
“Tidaklah anak Adam beramal di hari
Nahr yang paling dicintai Allah melebihi menumpahkan darah (berqurban). Qurban
itu akan datang di hari Kiamat dengan tanduk, bulu dan kukunya. Dan
sesungguhnya darah akan cepat sampai di suatu tempat sebelum darah tersebut
menetes ke bumi. Maka perbaikilah jiwa dengan berqurban”.
Keutamaan qurban
Keutamaan
qurban dijelaskan oleh sebuah hadits A'isyah :
Rasulullah s.a.w. bersabda :"Sebaik-baik amal
Bani Adam bagi Allah di hari Iedul Adha adalah menyembelih qurban. Di hari
kiamat hewan-hewan qurban tersebut menyertai Bani Adam dengan tanduk-tanduknya,
tulang-tulang dan bulunya, darah hewan tersebut diterima oleh Allah sebelum
menetes ke bumi dan akan membersihkan mereka yang melakukannya" (H.R.
Tirmidzi, Ibnu Majah).
Hukum ibadah qurban
• Mazhab Hanafi
Wajib. Allah SWT berfirman:
فَصَلِّ
لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dirikanlah shalat karena
Tuhanmu dan berkorbanlah” (QS
Al-Kautsaar: 2). Hadits
Abu Hurairah yang menyebutkan Rasulullah s.a.w. bersabda : "Barangsiapa
mempunyai kelonggaran (harta), namun ia tidak melaksanakan qurban, maka
janganlah ia mendekati masjidku" (H.R. Ahmad, Ibnu Majah). Dalam hadits lain: “Jika
kalian melihat awal bulan Zulhijah, dan seseorang di antara kalian hendak
berqurban, maka tahanlah rambut dan kukunya (jangan digunting)” (HR
Muslim).
• Mazhab Syafi'i
Sunnah ‘ain (menjadi tanggungan individu) bagi setiap
individu sekali dalam seumur hidup dan SUNNAH KIFAYAH bagi sebuah keluarga besar.
Namun kesunnahan tersebut terpenuhi bila salah satu anggota keluarga telah
melaksanakannya. Dalam riwayat Ibnu Abbas Rasulullah s.a.w. bersabda : "Tiga
perkara bagiku wajib, namun bagi kalian sunnah, yaitu shalat witir, menyembelih
qurban dan shalat iedul adha" (H.R. Ahmad dan Hakim).
Menurut
pendapat jumhur ulama hukum menyembelih hewan qurban adalah sunnah muakkad bagi
muslim, yang baligh dan berakal. Tiga hal ini juga menjadi syarat atas setiap
perintah yang wajib dan yang sunnah. Khusus untuk melaksanakan ibadah Qurban,
juga disyaratkan mampu secara ekonomi untuk melaksanakannya sebagaimana ibadah
haji. Bagi seorang muslim atau keluarga muslim yang mampu dan memiliki
kemudahan, dia sangat dianjurkan untuk berqurban. Jika tidak melakukannya, menurut
pendapat Abu Hanifah, ia berdosa. Dan menurut pendapat jumhur ulama dia tidak
mendapatkan keutamaan pahala sunnah.
Waktu
penyembelihan qurban
Waktu
penyembelihan hewan qurban yang paling utama adalah hari Nahr, yaitu Raya ‘Idul
Adha pada tanggal 10 Zulhijah setelah melaksanakan shalat ‘Idul Adha bagi yang
melaksanakannya. Adapun bagi yang tidak melaksanakan shalat ‘Idul Adha seperti
jamaah haji dapat dilakukan setelah terbit matahari di hari Nahr.
Adapun hari penyembelihan menurut Jumhur ulama, yaitu madzhab Hanafi,
Maliki dan Hambali berpendapat bahwa hari penyembelihan adalah tiga hari, yaitu
hari raya Nahr dan dua hari Tasyrik, yang diakhiri dengan tenggelamnya
matahari. Pendapat ini mengambil alasan bahwa Umar RA, Ali RA, Abu
Hurairah RA, Anas RA, Ibnu Abbas dan Ibnu Umar RA mengabarkan bahwa hari-hari
penyembelihan adalah tiga hari. Dan penetapan waktu yang mereka lakukan tidak
mungkin hasil ijtihad mereka sendiri tetapi mereka mendengar dari Rasulullah
SAW (Mughni Ibnu Qudamah 11/114).
Sedangkan mazhab Syafi’i dan sebagian mazhab Hambali juga
diikuti oleh Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa hari penyembelihan adalah 4 hari,
Hari Raya ‘Idul Adha dan 3 Hari Tasyrik. Berakhirnya hari Tasyrik dengan
ditandai tenggelamnya matahari. Pendapat ini mengikuti alasan hadits,
sebagaimana disebutkan Rasulullah SAW:
“Semua hari Tasyrik adalah hari
penyembelihan” (HR
Ahmad dan Ibnu Hibban). Berkata Al-Haitsami:” Hadits ini para perawinya kuat”.
Dengan adanya hadits shahih ini, maka pendapat yang kuat adalah pendapat mazhab
Syafi’i.
Binatang yang boleh diqurbankan
Adapun binatang
yang boleh digunakan untuk berqurban adalah binatang ternak (Al-An’aam), unta,
sapi dan kambing, jantan atau betina. Sedangkan binatang selain itu
seperti burung, ayam dll tidak boleh dijadikan binatang qurban. Allah SWT
berfirman :
“Dan bagi
tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (qurban), supaya mereka
menyebut nama Allah atas rizqi yang telah dikaruniakan Allah kepada mereka
berupa hewan ternak. Maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu
berserahdirilah kamu kepada-Nya. Dan sampaikanlah (Muhammad) kabar gembira
kepada orang – orang yang tunduk patuh (kepada Allah)” (QS Al-Hajj
34).
Kambing
untuk satu orang, boleh juga untuk satu keluarga. Karena Rasulullah SAW
menyembelih dua kambing, satu untuk beliau dan keluarganya dan satu
lagi untuk beliau dan umatnya. Sedangkan unta dan sapi dapat digunakan
untuk tujuh orang, baik dalam satu keluarga atau tidak, sesuai dengan hadits
Rasulullah SAW:
عن جابرٍ بن عبد
الله قال: نحرنا مع رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وسَلَّم بالحُديبيةِ
البدنةَ عن سبعةٍ والبقرةَ عن سبعةٍ
Dari Jabir bin
Abdullah, berkata “Kami berqurban bersama Rasulullah SAW di tahun Hudaibiyah,
unta untuk tujuh orang dan sapi untuk tujuh orang” (HR
Muslim).
Binatang yang akan diqurbankan hendaknya yang
paling baik, cukup umur dan tidak boleh cacat. Rasulullah SAW bersabda:
“Empat macam
binatang yang tidak sah dijadikan qurban: 1. Cacat matanya, 2. sakit, 3.
pincang dan 4. kurus yang tidak berlemak lagi “ (HR
Bukhari dan Muslim). Hadits lain:
“Janganlah kamu
menyembelih binatang ternak untuk qurban kecuali musinnah (telah ganti gigi,
kupak). Jika sukar didapati, maka boleh jadz’ah (berumur 1 tahun lebih) dari
domba” (HR.
Muslim).
Musinnah adalah jika pada unta sudah berumur 5
tahun, sapi umur dua tahun dan kambing umur 1 tahun, domba dari 6 bulan sampai
1 tahun. Dibolehkan berqurban dengan hewan kurban yang mandul, bahkan
Rasulullah SAW berqurban dengan dua domba yang mandul. Dan biasanya dagingnya
lebih enak dan lebih gemuk.
Perbedaan pandangan tentang hukum daging qurban sebagai berikut :
[ 1]
Mazhab Hanafi
Memandang sunah daging hewan kurban
itu dibagi tiga: sepertiga sunah dimakan oleh pemiliknya; sepertiga dihadiahkan
untuk teman-teman akrab, sekalipun mereka orang kaya; sepertiga lagi
disedekahkan kepada orang miskin. Pendapatnya ini didasarkan kepada firman
Allah swt : “ Kemudian apabila telah roboh ( mati) , maka makanlah
sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (
yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta.” ( QS.22: 36) . Dan hadits
Nabi saw yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, bahwa Nabi saw membagi
kurbannya atas tiga bagian: sepertiga untuk keluargana, sepertiga untuk
tetangganya yang miskin, dan sepertiga untuk peminta-minta (HR. Hafiz Abu
Musa al-Isfahani).
[ 2] Mazhab Hanbali
Memandang sunah daging hewan kurban
itu dibagi tiga: sepertiga sunah dimakan oleh pemiliknya; sepertiga dihadiahkan
untuk teman-teman akrab, sekalipun mereka orang kaya; sepertiga lagi disedekahkan
kepada orang miskin (sependapat dengan Mazhab Hanafi). Tetapi, mereka memandang
wajib bagi pemilik hewan kurban memakan sepertiga dari daging kurbannya, karena
perintah yang terkandung dalam ayat di atas mengandung pengertian wajib.
Kendati demikian, ulama Mazhab Hanbali membolehkan pemilik kurban memakan
daging kurban lebih banyak dari itu.
[ 3]
Mazhab Maliki
Berpendapat bahwa daging kurban
tidak perlu dibagi-bagi. Hadits-hadits yang menerangkan adanya pembagian itu
semuanya bersifat mutlak, yang memerlukan perincian. Menurut mereka, Rasulullah
saw sendiri tidak melarang memakan dan menyimpan daging kurban, tanpa
memberikan kepada orang lain, seperti dalam sabda beliau : “ Saya melarang
kamu menyimpan daging kurban lebih dari tiga hari, karena kepentingan
sekelompok orang badui. Kemudian Allah memberikan kelapangan, maka simpanlah
olehmu apa yang ada padamu” (HR. Muslim).
Suatu waktu Nabi Muhammad SAW melarang kaum
muslimin menyimpan daging kurban kecuali dalam batas tertentu, sekedar bekal
untuk tiga hari. Akan tetapi, beberapa tahun kemudian peraturan yang ditetapkan
oleh Nabi Muhammad saw itu dilanggar oleh para sahabat. Permasalahan itu
disampaikan kepada Nabi Muhammad. Beliau membenarkan tindakan para sahabat itu
sambil menerangkan bahwa larangan menyimpan daging kurban adalah didasarkan
atas kepentingan Al Daffah (tamu yang terdiri dari orang-orang miskin yang
datang dari perkampungan sekitar Madinah). Setelah itu, Nabi Muhammad saw bersabda,
“ Sekarang simpanlah daging-daging kurban itu, karena tidak ada lagi tamu
yang membutuhkannya”. Dari kasus tersebut terlihat, adanya larangan
menyimpan daging kurban diharapkan tujuan syariat dapat dicapai, yakni
melapangkan kaum miskin yang datang dari dusun-dusun di pinggiran Madinah.
Setelah alasan pelarangan tersebut tidak ada lagi, maka larangan itu pun
dihapuskan oleh Nabi SAW.
[ 4] Mazhab Syafi’i
[ 4] Mazhab Syafi’i
Hukumnya wajib untuk disedekahkan
kepada fakir miskin sebagian dari daging kurban sekalipun jumlahnya sedikit,
sementara selebihnya diberikan kepada handai taulan, baik kaya maupun miskin,
dan pemiliknya sendiri sunah memakannya sekedar sesuap. Dasarnya merujuk kepada
firman Allah swt : “ Kemudian apabila telah roboh (mati) , maka makanlah
sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya
(yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta” (QS.22: 36) . “ Maka
makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan
orang-orang yang sengsara lagi fakir” (QS.22: 28) . Dan berdasarkan hadits
yang mengatakan bahwa, “ Rasulullah saw biasa memakan hati binatang kurbannya”
(HR.al-Baihaqi).
Tata cara penyembelihan qurban
Berqurban
sebagaimana definisi di atas yaitu menyembelih hewan qurban, sehingga menurut
jumhur ulama tidak boleh atau tidak sah berqurban hanya dengan memberikan
uangnya saja kepada fakir miskin seharga hewan qurban tersebut, tanpa ada
penyembelihan hewan qurban. Karena maksud berqurban adalah adanya penyembelihan
hewan qurban kemudian dagingnya dibagikan kepada fakir miskin. Dan menurut
jumhur ulama yaitu mazhab Imam Malik, Ahmad dan lainnya, bahwa berqurban dengan
menyembelih kambing jauh lebih utama dari sedekah dengan nilainya. Dan jika
berqurban dibolehkan dengan membayar harganya akan berdampak pada hilangnya
ibadah qurban yang disyariatkan Islam tersebut. Adapun jika seseorang
berqurban, sedangkan hewan qurban dan penyembelihannya dilakukan ditempat lain,
maka itu adalah masalah teknis yang dibolehkan. Dan bagi yang berqurban,
jika tidak bisa menyembelih sendiri diutamakan untuk menyaksikan
penyembelihan tersebut, sebagaimana hadits riwayat Ibnu Abbas ra:
“Hadirlah
ketika kalian menyembelih qurban, karena Allah akan mengampuni kalian dari
mulai awal darah keluar”.
Ketika seorang muslim hendak menyembelih hewan
qurban, maka bacalah: Bismillahi Wallahu Akbar, ya Allah ini qurban si Fulan
(sebut namanya), sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW:
“Bismillahi
Wallahu Akbar, ya Allah ini qurban dariku dan orang yang belum berqurban dari
umatku” (HR
Abu Dawud dan At-Tirmidzi).
Bacaan boleh ditambah sebagaimana Rasulullah SAW
memerintahkan pada Fatimah rha:
“Wahai Fatimah,
bangkit dan saksikanlah penyembelihan qurbanmu, karena sesungguhnya Allah
mengampunimu setiap dosa yang dilakukan dari awal tetesan darah qurban, dan
katakanlah:” Sesungguhnya shalatku, ibadah (qurban) ku, hidupku dan matiku
lillahi rabbil ‘alamiin, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan oleh karena itu aku
diperintahkan, dan aku termasuk orang yang paling awal berserah diri” (HR
Al-Hakim dan Al-Baihaqi).
Berqurban
dengan cara patungan
Qurban
dengan cara patungan, disebutkan dalam hadits dari Abu Ayyub Al-Anshari :
“Seseorang di
masa Rasulullah SAW berqurban dengan satu kambing untuk dirinya dan
keluarganya. Mereka semua makan, sehingga manusia membanggakannya dan melakukan
apa yang ia lakukan” (HR Ibnu Majah dan At-Tirmidzi).
Berkata Ibnul Qoyyim dalam Zaadul Ma’ad:
“Di antara
sunnah Rasulullah SAW bahwa qurban kambing boleh untuk seorang dan keluarganya
walaupun jumlah mereka banyak sebagaimana hadits Atha bin Yasar dari Abu Ayyub
Al-Anshari. Disebutkan dalam hadits Rasulullah SAW :
عن أبي الأسود
السلمي، عن أبيه، عن جده قال: كنت سابع سبعة مع رسول الله -صلَّى الله عليه وسلَّم- في سفره، فأدركنا الأضحى. فأمرنا رسول الله
-صلَّى
الله عليه وسلم-، فجمع كل رجل منا درهما، فاشترينا أضحية
بسبعة دراهم. وقلنا: يا رسول الله، لقد غلينا بها. فقال: (إن أفضل الضحايا أغلاها، وأسمنها) قال: ثم أمرنا رسول الله
-صلَّى
الله عليه وسلم-، فأخذ رجل برِجل، ورجل برِجل، ورجل بيد،
ورجل بيد، ورجل بقرن، ورجل بقرن، وذبح السابع، وكبروا عليها جميعا.
Dari Abul Aswad
As-Sulami dari ayahnya, dari kakeknya, berkata: Saat itu kami bertujuh bersama
Rasulullah saw, dalam suatu safar, dan kami mendapati hari Raya ‘Idul
Adha. Maka Rasulullah SAW memerintahkan kami untuk mengumpulkan uang
setiap orang satu dirham. Kemudian kami membeli kambing seharga 7 dirham. Kami
berkata:” Wahai Rasulullah SAW harganya mahal bagi kami”. Rasulullah SAW
bersabda:” Sesungguhnya yang paling utama dari qurban adalah yang paling mahal
dan paling gemuk”. Kemudian Rasulullah SAW memerintahkan pada kami.
Masing-masing orang memegang 4 kaki dan dua tanduk sedang yang ketujuh
menyembelihnya, kemudian kami semuanya bertakbir” (HR Ahmad
dan Al-Hakim).
Dan berkata Ibnul Qoyyim dalam kitabnya ‘Ilamul
Muaqi’in setelah mengemukakan hadits tersebut: “Mereka diposisikan
sebagai satu keluarga dalam bolehnya menyembelih satu kambing bagi mereka.
Karena mereka adalah sahabat akrab. Oleh karena itu sebagai sebuah pembelajaran
dapat saja beberapa orang membeli seekor kambing kemudian disembelih.
Sebagaimana anak-anak sekolah dengan dikoordinir oleh sekolahnya membeli
hewan qurban kambing atau sapi kemudian diqurbankan. Dalam hadits lain
diriwayatkan oleh Ahmad dari Ibnu Abbas, datang pada Rasulullah SAW seorang lelaki
dan berkata:
“Saya
berkewajiban qurban unta, sedang saya dalam keadaan sulit dan tidak mampu
membelinya”. Maka Rasulullah SAW memerintahkan untuk membeli tujuh ekor kambing
kemudian disembelih”.
Hukum menjual
bagian qurban
Orang
yang berqurban tidak boleh menjual sedikitpun hal-hal yang terkait dengan hewan
qurban seperti, kulit, daging, susu dll dengan uang yang menyebabkan
hilangnya manfaat barang tersebut. Jumhur ulama menyatakan hukumnya makruh
mendekati haram, sesuai dengan hadits:
“Siapa yang
menjual kulit hewan qurban, maka dia tidak berqurban” (HR.
Hakim dan Baihaqi). Kecuali dihadiahkan kepada fakir-miskin, atau dimanfaatkan
maka dibolehkan. Menurut mazhab Hanafi kulit hewan qurban boleh dijual dan
uangnya disedekahkan. Kemudian uang tersebut dibelikan pada sesuatu yang
bermanfaat bagi kebutuhan rumah tangga.
Hukum memberi
upah tukang jagal qurban
Sesuatu
yang dianggap makruh mendekati haram juga memberi upah tukang jagal dari hewan
qurban. Sesuai dengan hadits dari Ali ra:
“Rasulullah SAW
memerintahkanku untuk menjadi panitia qurban (unta) dan membagikan kulit dan
dagingnya. Dan memerintahkan kepadaku untuk tidak memberi tukang jagal
sedikitpun”. Ali berkata:” Kami memberi dari uang kami” (HR
Bukhari).
Hukum berqurban
atas nama orang yang meninggal
Berqurban
atas nama orang yang meninggal jika orang yang meninggal tersebut berwasiat
atau wakaf, maka para ulama sepakat membolehkan. Jika dalam bentuk nadzar, maka
ahli waris berkewajiban melaksanakannya. Tetapi jika tanpa wasiat dan
keluarganya ingin melakukan dengan hartanya sendiri, maka menurut jumhur ulama
seperti mazhab Hanafi, Maliki dan Hambali membolehkannya. Sesuai dengan apa
yang dilakukan Rasulullah SAW. Beliau menyembelih dua kambing yang pertama
untuk dirinya dan yang kedua untuk orang yang belum berqurban dari umatnya.
Orang yang belum berqurban berarti yang masih hidup dan yang sudah mati.
Sedangkan mazhab Syafi’i tidak membolehkannya. Anehnya, mayoritas umat Islam di
Indonesia mengikuti pendapat jumhur ulama, padahal mereka mengaku pengikut
mazhab Syafi’i.
Kategori
penyembelihan
Amal
yang terkait dengan penyembelihan dapat dikategorikan menjadi empat bagian.
Pertama, hadyu; kedua, udhiyah sebagaimana diterangkan di atas; ketiga, aqiqah;
keempat, penyembelihan biasa. Hadyu adalah binatang ternak yang disembelih di
Tanah Haram di hari-hari Nahr karena melaksanakan haji Tamattu’ dan Qiran, atau
meninggalkan di antara kewajiban atau melakukan hal-hal yang diharamkan, baik
dalam haji atau umrah, atau hanya sekedar pendekatan diri kepada Allah SWT
sebagai ibadah sunnah. Aqiqah adalah kambing yang disembelih terkait dengan
kelahiran anak pada hari ketujuh sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah.
Jika yang lahir lelaki disunnahkan 2 ekor dan jika perempuan satu ekor.
Sedangkan
selain bentuk ibadah di atas, masuk ke dalam penyembelihan biasa untuk
dimakan, disedekahkan atau untuk dijual, seperti seorang yang melakukan akad
nikah. Kemudian dirayakan dengan walimah menyembelih kambing. Seorang yang
sukses dalam pendidikan atau karirnya kemudian menyembelih binatang sebagai
rasa syukur kepada Allah SWT. Jika terjadi penyembelihan binatang ternak
dikaitkan dengan waktu tertentu, upacara tertentu dan keyakinan tertentu maka
dapat digolongkan pada hal yang bid’ah, sebagaimana yang terjadi di beberapa
daerah. Apalagi jika penyembelihan itu tujuannya untuk syetan atau Tuhan selain
Allah maka ini adalah jelas-jelas sebuah bentuk kemusyrikan.
BAB III
PENUTUP
Hukum Islam adalah hukum yang
bersumber dan menjadi bagian dari agama. Adapun konsepsi hukum Islam, dasar
kerangkanya dari Allah swt. Hukum tersebut mengatur hubungan manusia dengan
Illah, hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia
lain dalam masyarakat dan hubungan manusia dengan benda serta alam sekitar.
Menurut
bahasa, mazhabمذهب) ) berasal dari shighah mashdar mimy (kata sifat) dan isim
makan (kata yang menunjukkan tempat) yang diambil dari fi'il madhy
"dzahaba" (ذهب) yang berarti "pergi". Bisa juga berarti al-ra'yu (الرأى) yang
artinya "pendapat". Sedangkan yang dimaksud dengan mazhab menurut
istilah, meliputi dua pengertian, yaitu:
a.
Mazhab adalah jalan pikiran atau metode yang ditempuh oleh seorang Imam
Mujtahid dalam menetapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan kepada Al-Qur'an
dan hadits.
b.
Mazhab adalah fatwa atau pendapat seorang Imam Mujtahid tentang hukum suatu
peristiwa yang diambil dari Al-Qur'an dan hadits.
Jadi, mazhab adalah pokok pikiran
atau dasar yang digunakan oleh Imam Mujtahid dalam memecahkan masalah, atau
mengistinbathkan hukum Islam.
Imam Mazhab, diantaranya :
Mazhab Hanafi, dasar istinbath :
Al-Qur’an
Hadits
Aqwalus
shahabah (Ucapan Para Sahabat)
Qiyas
Istihsan
Urf
Mazhab Maliki, dasar istinbath :
Al-qur’an
Sunnah
rasul yang beliau pandang sah.
Ijma’
para Ulama Madinah
Qiyas
Mashalihul Mursalah (Istislah)
Mazhab Syafi’i, dasar istinbath :
Al-qur’an
Hadits
Ijma’
Qiyas
Istishhab
Mazhab Hanbali, dasar istinbath :
Al-qur’an
dan Hadits
Fatwa
Shahaby.
Pendapat
Sebagian
Mursal
atau Da’if.
Qiyas
Sesuatu yang perlu diperhatikan bagi
umat Islam adalah bahwa berqurban (udhiyah), qurban (taqarrub) dan
berkorban (tadhiyah), ketiganya memiliki titik persamaan dan perbedaan. Qurban
(taqarrub), yaitu upaya seorang muslim melakukan pendekatan diri kepada Allah
dengan amal ibadah baik yang diwajibkan maupun yang disunnahkan. Rasulullah SAW
bersabda:
Sesungguhnya Allah berfirman (dalam
hadits Qudsi): “Siapa yang memerangi kekasih-Ku, niscaya aku telah umumkan
perang padanya. Tidaklah seorang hamba mendekatkan diri pada-Ku (taqarrub)
dengan sesuatu yang paling Aku cintai, dengan sesuatu yang aku wajibkan.
Dan jika hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan yang sunnah,
maka Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku menjadi
pendengarannya dimana ia mendengar, menjadi penglihatannya dimana ia melihat,
tangannya dimana ia memukul dan kakinya, dimana ia berjalan. Jika ia meminta,
niscaya Aku beri dan jika ia minta perlindungan, maka Aku lindungi” (HR. Bukhari).
Berqurban
(udhiyah) adalah salah satu bentuk pendekatan diri kepada Allah dengan
mengorbankan sebagian kecil hartanya, untuk dibelikan binatang ternak.
Menyembelih binatang tersebut dengan persyaratan yang sudah ditentukan.
Sedangkan berkorban (tadhiyah) mempunyai arti yang lebih luas yaitu berkorban
dengan harta, jiwa, pikiran dan apa saja untuk tegaknya Islam. Dalam
suasana dimana umat Islam di Indonesia sedang terkena musibah banjir, dan
mereka banyak yang menjadi korban. Maka musibah ini harus menjadi pelajaran
berarti bagi umat Islam. Apakah musibah ini disebabkan karena mereka menjauhi
Allah SWT dan menjauhi ajaran-Nya? Yang pasti, musibah ini harus lebih
mendekatkan umat Islam kepada Allah (taqqarub ilallah). Melaksanakan
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dan yang tidak tertimpa musibah banjir
ini dituntut untuk memberikan kepeduliannya dengan cara berkorban dan
memberikan bantuan kepada mereka yang terkena musibah. Dan di antara bentuk
pendekatan diri kepada Allah dan bentuk pengorbanan kita dengan melakukan
qurban penyembelihan sapi dan kambing pada hari Raya ‘Idul Adha dan Hari
Tasyrik. Semoga Allah menerima qurban kita dan meringankan musibah ini dan yang
lebih penting lagi menyelamatkan kita dari api neraka.
Wallahu a’lam bishshawaab.
DAFTAR
PUSTAKA
Departemen
Agama RI.2005.”Al-Quran dan Terjemahnya”. Jakarta : Pustaka Amani.
Hassan, Abdul Qadir.1985. Soal Jawab Masalah
Agama. Bandung : CV Diponegoro.
Malik, M. Abduh. Uswatun Hasanah. Mujilan dan Nurwahidin. 2009. Pengembangan
Kepribadian Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi. Jakarta :
Direktorat Jenderal Pendidikan Agama Islam Direktorat Pendidikan Tinggi Islam.
Miftahur.2009.Hukum dan tata cara Qurban.Diunduh dari www.dakwatuna.com pada
hari Rabu, 1 Oktober 2013.
Rasjid, Sulaiman.1954.Fiqh
Islam. Bandung : Sinar Baru Algesindo.
BIOGRAFI
PENULIS
CHAERUL
HUDA
JUNI
SAGITO
SARAH
BalasHapusbinatang qurban baik kambing atau sapi yang baik sesuai syarat sah untuk qurban, semoga banyak yang dapat merasakan bahagia mendapatkan qurban