Selasa, 08 Oktober 2013

METODE PENETAPAN HUKUM ISLAM MENURUT EMPAT MADZHAB

PENDAHULUAN

Wafatnya Rasulullah SAW menandai berakhirnya pembentukan syari'at Islam. Para sahabat sebagai perpanjangan tangan Nabi dalam melestarikan dan mengembangkan Islam dihadapkan pada persoalan sosial yang sangat kompleks. Namun kepergian beliau tidak berarti berakhirnya pembentukan hukum Islam. Rasulullah SAW telah meninggalkan warisan yang sangat berharga untuk dipedomani oleh umatnya, yaitu Al-Qur'an dan Al-Sunnah. 

Sehubungan persoalan umat semakin berkembang dan tidak mungkin semuanya terakomodasi dalam al-Qur’an dan sunnah, maka jauh-jauh hari Rasulullah telah memberikan contoh melalui pembicaraannya dengan Mu’az bin Jabal, bahwa penyelesaian persoalan umat itu berpedoman kepada al-Qur’an atau sunnah, kalau tidak ditemukan solusinya maka diselesaikan melalui ijtihad yang tentu saja tidak boleh bertentangan dengan kedua sumber utama tersebut.
Dengan berpedoman kepada pesan ini, para sahabat dan tabi’in kemudian berijtihad disaat mereka tidak menemukan dalil dari al-Qur’an atau sunnah yang secara tegas mengatur suatu persoalan. Ijtihad para sahabat dan tabi'in inilah kemudian yang melahirkan fiqih. Perbedaan kuantitas hadits oleh kalangan tabi'in, ditambah pula perbedaan mereka dalam menetapkan standar kualitas hadits serta situasi dan kondisi daerah yang berbeda menyebabkan terjadinya perbedaan dalam hasil ijtihad mereka. Selain itu perbedaan hasil ijtihad juga ditunjang oleh kadar penggunaan nalar (rasio), yang pada akhirnya menyebabkan timbulnya beberapa mazhab dalam fiqih.


Di dalam makalah ini penyusun mencoba memberikan penjelasan mengenai metode penetapan hukum islam  menurut empat mazhab yakni mazhab Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad ibn Hanbal. sistem istinbath masing-masing imam mazhab yang empat, yaitu imam, imam.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin…
BAB II
METODE PENETAPAN HUKUM ISLAM 
MENURUT EMPAT MAZHAB

Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dan menjadi bagian dari agama islam. Sebagai sistem hukum, hukum islam tidak boleh dan tidak dapat disamakan dengan sistem hukum yang lain yang pada umumnya terbenruk dan berasal dari kebiasaan – kebiasaan masyarakat dan hasil pemikiran serta budaya  manusia pada suatu saat di suatu masa. Berbeda dengan sistrem hukum yang lain, hukum islam tidak hanya merupakan hasil pemikiran yang dipengaruhi oleh kebudayaan manusia di suatu tempat di suatu masa, tetapi dasarnya ditetapkan oleh Allah Swt melalui wahyu-Nya yang kini terdapat dalam al-Qur’an dan dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul-Nya melalui Sunnah beliau yang kini terhimpun dengan baik dalam kitab-kitab Hadits. Dasar inilah  yang membedakan hukum islam secara fundamental dengan hukum – hukum  lain yang semata-mata lahir dari kebiasaan dan hasil pemikiran atau buatan manusia belaka.
Jika kita berbicara tentang hukum, yang terlintas dalam pikiran kita adalah peraturan – peraturan atau seperangkat norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat. Bentuknya mungkin hukum tidak tertulis mungkin juga berupa hukum tertulis. Hukum dalam konsepsi hukum barat adalah hukum yang sengaja dibuat oleh manusia untuk mengatur hubungan manusia lain dan benda dalam masyarakat. Adapun konsepsi hukum Islam, dasar kerangkanya dari Allah swt. Hukum tersebut mengatur hubungan manusia dengan Illah, hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dalam masyarakat dan hubungan manusia dengan benda serta alam sekitar.
  Perkataan hukum yang dipergunakan sekarang dalam Bahasa Indonesia berasal dari kata hukum dalam Bahasa Arab. Artinya norma atau kaidah, yakni ukuran, patokan, pedoman yang dipergunakan untuk menilai tingkah laku  atau perbuatan manusia dan benda. Setiap peraturan mengandung norma atau kaidah sebagai intinya. Dalam ilmu hukum, kaidah itu disebut hukum. Yang dimaksud, seperti telah disebut di atas, adalah patokan, tolak ukur, ukuran atau kaidah mengenai perbuatan atau benda itu (Mohammad Daud Ali, 1999 : 39).

2.1. Pengertian Hukum Islam
Hukum Islam merupakan rangkaian dari kata "hukum" dan kata "Islam". Kedua kata itu secara terpisah merupakan kata yang digunakan dalam bahasa arab dan banyak terdapat dalam Al-Qur'an dan juga dalam bahasa Indonesia baku. "Hukum Islam" sebagai suatu rangkaian kata telah menjadi bahasa Indonesia yang hidup dan terpakai, namun bukan merupakan kata yang terpakai dalam bahasa Arab dan tidak ditemukan dalam Al-Qur'an; juga tidak ditemukan dalam literatur yang berbahasa Arab. Karena itu tidak akan menemukan artinya secara definitif.
Untuk memahami pengertian Hukum Islam perlu terlebih dahulu diketahui kata "hukum" dalam bahasa Indonesia, kemudian pengertian hukum itu disandarkan kepada kata "Islam". Ada kesulitan dalam memberikan definisi kepada kata "hukum", karena setiap definisi akan mengandung titik lemah. Karena itu untuk memudahkan memahami pengertian "hukum", berikut ini akan diketengahkan definisi hukum dalam arti yang sederhana, yaitu: seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang diakui sekelompok masyarakat; disusun oleh orang yang diberi wewenang oleh masyarakat itu; berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya". Definisi tersebut tentunya masih mengandung kelemahan, namun dapat memberikan pengertian yang mudah dipahami. Bila kata "hukum" dalam pengertian diatas dihubungkan dengan kata "Islam" atau "syara'", maka "hukum Islam" akan berarti: "seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah SWT dan atau sunnah Rasulullah SAW tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua yang beragama Islam". Kata "seperangkat peraturan" menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan hukum Islam itu adalah peraturan-peraturan yang dirumuskan secara terperinci dan mempunyai kekuatan yang mengikat. Kata "yang berdasarkan wahyu Allah SWT dan sunnah Rasulullah SAW" menjelaskan bahwa perangkat peraturan itu digali dari dan berdasarkan kepada wahyu Allah SWT dan sunnah Rasulullah SAW, atau yang populer dengan sebutan "syari'ah".
Kata "tentang tingkah laku manusia mukallaf" mengandung arti bahwa hukum Islam itu hanya mengatur tindak lahir dari manusia yang dikenai hukum. Peraturan tersebut berlaku dan mempunyai kekuatan terhadap orang-orang yang meyakini kebenaran wahyu Allah SWT dan sunnah Rasulullah SAW itu, yang dimaksud dalam hal ini adalah umat Islam.
 Sementara itu, kata “hukum Islam” juga berhubungan dengan kata “syari’ah”. Secara leksikal syari’ah berarti “jalan ke tempat pengairan” atau “jalan yang harus diikuti”, atau “tempat lalu air di sungai”. Arti terakhir ini digunakan orang Arab sampai sekarang untuk maksud kata “syari’ah”.
Di antara para pakar Hukum Islam memberikan definisi kepada syari’ah itu dengan “Segala titah Allah yang berhubungan dengan tingkah laku manusia di luar yang mengenai akhlak”. Dengan demikian syariah itu adalah nama bagi hukum-hukum yang bersifat amaliah. Di antara ulama ada yang mengkhususkan lagi penggunaan kata syari’ah itu dengan “apa yang bersangkutan dengan peradilan serta pengajuan perkara kepada mahkamah dan tidak mencakup kepada halal dan haram”. Seorang ulama bernama Qatadah menurut yang diriwayatkan oleh al-Thabari, ahli tafsir dan sejarah, sebagaimana yang dikutip oleh Amir Syarifuddin, menggunakan kata syari’ah kepada hal yang menyangkut kewajiban, hak, perintah dan larangan; tidak termasuk di dalamnya aqidah, hikmah dan ibarat yang tercakup dalam agama. Mahmud Syaltut mengartikan syari’ah dengan “hukum-hukum dan aturan-aturan yang ditetapkan Allah bagi hambanya untuk diikuti dalam hubungannya dengan Allah dan hubungannya dengan sesama manusia dan alam sekitarnya”. Dr. Farouk Abu Zeid menjelaskan bahwa syari’ah ialah “apa-apa yang ditetapkan Allah melalui lisan Nabinya. Allah adalah pembuat syari’ah yang menyangkut kehidupan agama dan kehidupan dunia”.

      2.2 Pengertian Mazhab
Menurut bahasa, mazhabمذهب) ) berasal dari shighah mashdar mimy (kata sifat) dan isim makan (kata yang menunjukkan tempat) yang diambil dari fi'il madhy "dzahaba" (ذهب) yang berarti "pergi". Bisa juga berarti al-ra'yu (الرأى) yang artinya "pendapat". Sedangkan yang dimaksud dengan mazhab menurut istilah, meliputi dua pengertian, yaitu:
a. Mazhab adalah jalan pikiran atau metode yang ditempuh oleh seorang Imam Mujtahid dalam menetapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan kepada Al-Qur'an dan hadits.
b. Mazhab adalah fatwa atau pendapat seorang Imam Mujtahid tentang hukum suatu peristiwa yang diambil dari Al-Qur'an dan hadits.
Jadi, mazhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh Imam Mujtahid dalam memecahkan masalah, atau mengistinbathkan hukum Islam. Selanjutnya Imam mazhab dan mazhab itu berkembang pengertiannya menjadi kelompok umat Islam yang mengikuti cara istinbath Imam Mujtahid tertentu atau mengikuti pendapat Imam Mujtahid tentang masalah hukum Islam.

      2.3. Sekilas Tentang Empat Mazhab
      2.3.1  Mazhab Hanafi
Kehidupan penyusun
Abu Hanifah merupakan imam pertama dari keempat imam  dan yang paling dahulu lahir  juga wafatnya. Ia mampu memeperoleh kedudukan yang terhormat dalam masyarakat yang menghimpun faktor-faktor positif dan faktor-faktor negatif, sehingga tidak heran ia di juluki Imam A’zham (pemimpin terbesar), ia juga dikenal sebagai faqih irak, dan Imam Ar-Ra’y (Imam Aliran Rasional).
            Beliau dilahirkan di kota Kuffah, pada tahun 80 H (699 M), beliau benama asli Nu’mam bin Tsabit Bin Zhauth Bin Mah, ayah beliau keturunan bangsa Persi (Kabul, Afganistan) yang menetap di Kuffah, Tsabit bapak dari Abu Hanifah lahir sebagai seorang muslim dan diriwayatkan dia berasal dari bangsa Anbar. Adapula ia mukim di Tirtmidz, ada lagi yang mengatakan ia bermukim di Nisa, bisa jadi ia bermukim di tiap-tiap kota itu sementara waktu. Ia adalah seorang pedagang yang kaya dan taat beragama, sebagai mana ia pernah bertemu dengan Ali bin Abi Thalib, lalu sang imam mendoakan dan keturunananya dengan kebaikan dan keberkahan.
Menurut riwayat yang dapat dipercaya, beliau adalah wadi’ ilmu fiqh (yang mula – mula menyusun ilmu fiqh sebagaimana susunan sekarang ini). Beberapa ulama telah bergaul dan menjadi pendukung mazhab beliau. Kemudian sebagian dari mereka kembali menyelidiki hukum – hukum tadi  dengan memeriksa dalil – dalilnya serta disesuaikan dengan keadaan, kefaedahan dan kemudaratannya. Mereka inilah yang dinamakan sahabat – sahabat Abu Hanifah diantaranya yaitu Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan dan Zufar. Mazhab ini banyak tersiar di Bagdad, Parsi, Bukhara, Mesir, Syam dan tempat – tempat lain. 
Pendidikan penyusun
Pada masa Abu Hanifah terdapat empat sahabat, mereka adalah: Anas bin Malik, Abdullah bin Abu Aufa, Sahl bin Sa’ad dan Abu Thufail, mereka adalah sahabat-sahabta yang paling akhir wafat, namun Abu Hanifah tidak berguru kepada mereka.
Mengapa tidak berguru kepada mereka?, mungkin diantara mereka ada yang sudah wafat sedang abu hanifah masih kecil, seperti Abdullah bin Aufa yang meninggal pada tahun 87 hijriyah sehinggga umur abu hanifah pada waktu  itu baru 7 tahun, dan seperti abu Sahl bin Sa’ad yang wafat tahun 88 atau 91 hijriyah dan umur Imam Hanafi baru berumur 11 tahun. Sementara Anas bin Malik wafat pada tahun 90 atau 92 atau 95 hijriyah dan kala itu abu Hanifah berumur 15 tahun dan belum mulai mencari ilmu, ketika itu beliau masih berdagang.
          Dasar – dasar Istinbath Mazhab Imam Abu Hanifah
Mazhab Abu Hanifah adalah gambaran yang hidup dan jelas bagi relevansi  Hukum Islam dengan tuntutan masyarakat, beliau mendasarkan mazhabnya pada :
a.       Al-Qur’an : Alqur’an merupakan sumber pokok hukum islam sampai akhir zaman.
b.      Hadits:  Hadits merupakan penjelas dari pada Al-Qur’an yang asih bersifat umum.
c.       Aqwalus shahabah (Ucapan Para Sahabat): ucapan para sahbat menurut Imam hanafi itu sangat penting karena menurut beliau para sahabat meupakan pembawa ajaran rasul setelah generasinya.
d.      Qiyas: beliau akan menggunakan Qiyas apa bila tidak ditemukan dalam Nash Al-Qur’an, Hadits, maupun Aqwalus shahabah.
e.        Istihsan: merupakan kelanjutan dari Qiyas. Penggunaan Ar-Ra’yu lebih menonjol lagi, istihsan menurut bahasa adalah “menganggap lebih baik”, menurut  ulama Ushul Fiqh Istihsan adalah meninggalkan ketentuan Qiyas yang jelas illatnya untuk mengamalkan Qiyas yang bersifat samar.
f.        Urf, beliau mengambil yang sudah diyakini dan dipercayai dan lari dalam kebutuhan serta memperhatikan muamalah manusia dan apa yang mendatangkan maslahat bagi mereka. Beliau menggunakan segala urusan (bila tidak ditemukan dalam Al-Qur’an ,As-Sunnah dan Ijma’ atau Qiyas ), beliau akan menggunakan Istihsan, jika tidak bisa digunakan dengan istihsan maka beliau kembalikan kepada Urf manusi

Pendirian Imam Abu Hanifah tentang Taqlid
Sebagai seorang ulama, beliau tidak membenarkan seorang bertaklid buta dengan beliau (tidak mengetahui dasar/dalil yang digunakan). Begitu juga kepada para Ulama beliau menginginkan seorang bersikap kritis dalam menerima fatwa dalam ajaran agama. Bahakan beliau pernah berkata “Tidak Halal bagi seorang yang yakin fatwa dengan perkataanku, selama ia belum mengerti dari mana perkataanku”.
Dalam mengistinbathkan hukum, beliau melihat terlebih dahulu kepada Kitabullah, bila tidak ditemukan dilanjutkan kepada sunnah jika tidak ditemukan pula dalam sunnah beliau melihat kepada perkataan para sahabat, lalu beliau menggunakan jalan pikiran untuk mengambil pendapat mana yang sesuai dengan jalan pikiran dan ditinggal mana yang tidak sesuai.
       2.3.2  Mazhab Maliki
Kehidupan penyusun
Imam Malik dilahirkan dikota Dzu Al-muruwah di selatan kota madinah, lalu pindah ke Aqiq dan kemudian pindah ke Madinah. Menurut riwayat beliau dilahirkan di Madinah pada tahun 93 H dan meninggal pada Bulan Safar tahun 170 H. Beliau bernama asli Malik bin Anas bin Malik bin Abu Amir bin Amr bin Ghaimah bin Khutsail bin Amr bin Harits ia termasuk Bani Tamim bin Murrah. Kakek keduanya, abu Amir bin Amr adalah seorang sahabat Rasulullah SAW, sedangkan kakek pertamanya, Malik bin Abu Amir adalah salah satu tokoh Tabi’in.
Pendidikan penyusun
Imam Malik berguru kepada banyak guru diantaranya adalah Abdurrahman ibnu hurmuz, Rabi’ah bi Abdurrahman Farrukh, Athi’ budak Abdullah bin Umar, Ja’far bin Muhammad Baqir, Muhammad bin Muslim Az-Zuhri, Abdurrahman Dzakwan, Yahya bin Sa’id Al-Anshari, Abu hazim Salamah bin Dinar, dan guru-gurunya yang lain dari kalangan tabi’in, seperti yang di ungkapkan oleh An-Nawawi. Beliau belajar di Madinah dan di sanalah beliau menulis Kitab Muwaththa, kitab hadits yang terkenal sampai sekarang. Beliau menyusun kitab tersebut atas anjuran Khalifah Mansur ketika beliau bertemu pada waktu menunaikan ibadah haji. Menurut riwayat An-Nawawi bahwa Imam Malik berguru kepada pada 900 guru, 300 dari kalangan tabi’in, dan 600 dari kalangan tabi’it tabi’in yang terdiri dari ulama yang ia pilih, ia akui agamanya, fiqihnya, pemenuhan kewajiban periwayatan dan syarat-syaratnya, serta ia percaya.
Imam Malik adalah ahli fiqh dan hadits. Pada masanya beliau terbilang paling berpengaruh di seluruh Hijaz. Orang menyebut beliau “Sayyid Fuqaha Al Hijaz” (pemimpin ahli fiqh diseluruh daerah Hijaz). Beliau mempunyai banyak sahabat (murid), diantaranya yang terkenal ialah Muhammad Bin Idris Bin Syafi’i, Al Laisy Bin Sa’ad, Abu Ishaq Al Farazi. Pengikut mazhab ini yang tersebar di Tunisia, Tripoli, Maghribi dan Mesir.
Dasar-dasar istinbath
Mazhab Imam Malik adalah sebagai berikut:
a.        Al-qur’an: Al-Qur’an merupakan sumber utama dan pertama dalam pengambilan hukum. Karena Al-Qur’an adalah perkataan Allah yang merupakan petunjuk kepada ummat manusia dan diwajibkan untuk berpegangan kepada Al-Qur’an.
b.         Sunnah rasul yang beliau pandang sah.
c.        Ijma’ para Ulama Madinah, tetapi beliau kadang-kadang menolak hadits apabila nyata-nyata berlawanan atau tidak diamalkan oleh para ulama madinah.
d.        Qiyas : Qiyas menurut bahasanya berarti mengukur, secara etimologi kata itu berasal dari kata Qasa. Yang disebut Qiyas ialah menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hukum karena adanya sebab yang antara keduanya.
e.        Mashalihul Mursalah (Istislah): Maslahah mursalah menurut lughat terdiri atas dua kata, yaitu maslahah dan mursalah. Kata maslahah berasal dari kata bahasa arab   sholaha- yasluhu  menjadi  sholhan atau mashlahatan  yang berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan, sedangkan kata mursalah berasal  dari kata kerja yang ditafsirkan sehingga menjadi isim maf’ul, yaitu:  arsala- yursilu- irsalan- mursalan  yang berarti diutus, dikirim atau dipakai (dipergunakan). Perpaduan dua kata menjadi “maslahah mursalah” yang berarti prinsip kemaslahatan (kebaikan) yang dipergunakan menetapkan suatu hukum islam, juga dapat berarti suatu perbuatan yang mengandung nilai baik (manfaat).
Pendirian Imam Malik tentang taqlid
Beliau berkata :
“Sesungguhnya saya adalah manusia biasa, yang dapat salah dan dapat juga benar. maka perhatikan secara kritis pendapatku. Jika sesuai dengan kitab dan Sunnah ambillah, dan setiap pendapat yang tidak sesuai dengan kitab dan Sunnah tinggalkanlah. Setiap orang sesudah Nabi dapat diambil ucapannya dan dapat pula ditinggalkan, kecuali Nabi Muhammad Shallahu alaihi wa sallam”.
       2.3.3  Mazhab Syafi’i
Kehidupan penyusun
            Syafi’i lahir di Gaza, palestina pada tahun 150 Hijriyah inilah pendapat paling masyhur dikalangan ulama namun ada juga riwayat ynag mengatakan bahwa imam syafi’i lahir di daerah Asqalan, sebuah daerah yang berjarak kurang lebih tiga Fasakh (8KM) dari Gaza dan sejauh dua atau tiga marhala, dari Baitul Maqdis, bahkan ada juga yang mengatakan bahwa beliau dilahirkan di Yaman. Namun menurut An-Nawawi “pendapat paling masyhur yang dipegang oleh jumhur ulama bahwa imam Syafi’I lahir di Gaza”. Nama lengkap beliau adalah: Abu Abdullah bin Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’I bin Sa’id bin Ubaid bin abu Yazid bin Hasyim bin Muthalib bin Abdu Manaf, nasabnya samapai kepada Rasulullah saw, pada kakeknya Abdu Manaf, oleh karena itu ia dikatakan tentang Syafi’i, “cucu sepupu Nabi saw”.Kata – kata Imam Syafi’i yang sangat perlu menjadi perhatian, terutama bagi ulama yang mendukung dan mengikuti mazhab beliau ialah :”Apabila hadits itu sah, itulah mazhabku dan buanglah perkataanku yang timbul dari ijtihadku”. Pengikut beliau yang terbanyak di Mesir, Kurdistan, Yaman, Aden, Hadramaut, Mekah, Pakistan dan Indonesia.
               Pendidikan penyusun
            Imam Syafi’i hafal Al-qur’an ketika umurnya masih belia. Beliau juga menghafal hadits dan berhasil menghafalnya. Beliau sangat tertarik kepada kaidah-kaidah Arab dan kalimat-kalimatnya. Demi hal itu ia pergi ke pedalaman dan tinggal bersama kabilah Hudzail sekitar sepuluh tahun. Pertama beliau berguru kepada Syaikhnya, Muslim Khalid Az-Zinzi dan imam-imam Makkah lainnya lalu beliau pergi ke Madinah kala berusia 13 tahun, ia tetap berguru kepada Malik hingga ia wafat.
            Diantara guru-guru Syafi’i di Makkah antara lain: Muslim bin Khalid Az-Zinzi, Sufyan bin Umayah, Sa’id bin Salim Al-Qidah, Daud bin Abdurrhaman Al-Athar, dan Abdul Hamid bin Abdul Aziz bin Abu Daud. Dan diantara guru-gurunya di Madinah antara lain: Malik bin Anas (Imam Malik), Ibrahim bin Sa’ad Al-Anshari, Abdul Aziz bin Muhammad Ad-darawardi, Ibrahim bin Yahya Al-asami, Muhammad bin Sa’id bin Abdu Fadik, dan Abdullah bin Nafi Ash-Shaigh.
              Dasar-dasar mazhab Imam Syafi’i
Mazhab Imam Syafi’i adalah sebagai berikut :
a.        Al-qur’an : Alqur’an merupakan sumber pokok huku islam sampai akhir zaman.
b.       Hadits : Sumber kedua dalam menentukan hukum ialah sunnah Rasulullah   SAW. Karena Rasulullah yang berhak menjelaskan dan menafsirkan Al-Qur’an, maka As-Sunnah menduduki tempat kedua setelah Al-Qur’an
c.        Ijma’ Yang disebut Ijma’ ialah kesepakatan para Ulama’ atas suatu hukum setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Karena pada masa hidupnya Nabi Muhammad SAW seluruh persoalan hukum kembali kepada beliau. Setelah wafatnya Nabi maka hukum dikembalikan kepada para sahabatnya dan para Mujtahid.
d.       Qiyas 
e.        Istishhab; Istishhab secara bahasa adalah menyertakan, membawa serta dan tidak melepaskan sesuatu.
      Pendirian Imam Syafi’I terhadap taqlid
            Beliau selalu memberi peringatan terhadap murid-muridnya agar tidak begitu saja menerima apa-apa yang disampaikan oleh beliau dalam masalah agama, yang tidak ada nashnya dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Diantara nasihat beliau tentang taqlid buta, beliau pernah berkata kepada muridnya yaitu Imam Ar-Rabi’ : “Ya Abi Ishak, janganlah engkau bertaqlid kepadaku, dalam tiap-tiap yang apa aku yakini, dan pikirkanlah benar-benar bagi dirimu sendiri karena ia adalah urusan agama”. Dari pernyataan tersebut kiranya cukup jelas pendapat Imam Syafi’i tentang taklid buta. Sungguh beliau sangat melarang taklid buta kepada beliau dan kepada para ulama lainnya dalam urusan hukum-hukum agama.
       2.3.4  Mazhab Hanbali
       Kehidupan penyusun
            Ibnu Hanbali lahir pada tahun 164 H di Baghdad setelah ibunya membawanya pindah ketika ia masih dalam kandungan dari kota Marwa tempat tinggal ayahnya ke kota Bagdad. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin ‘Auf bin Qasit bin Mazin bin Syaiban Al-Marwazi lalu Al-Baghdadi, nasab Ibnu Hanbal sampai kepada Rasulullah saw, pada Nizar bin Ma’ad bin Adnan. Penisbatan Ibnu Hanbal yang terkenal adalah kepada kakeknya Hanbal, maka orang-orang mengatakan Ibnu Hanbal.
              Pendidikan penyusun
            Ibnu Hanbal hafal Al-Qur’anul Karim, mempelajari Ilmu Bahsa, dan belajar membaca dan menulis di diwan (tempat belajar dan menulis). Ibnu Hanbal pertama kali belajar kepada Abu yusuf Ya’kub bin Ibrahim Al-Qadhi, murid Abu Hanifah. Kepadanya ia belajar hadits dan fiqh, karenanya Abu Yusuf dikenal sebagai guru pertama Ibnu Hanbal. Namun pengaruh Abu Yusuf tidak begitu kuat tertanam dalam jiwa Ibnu Hanbal sehingga ada yang berpendapat bahwa Abu Yusuf bukan guru pertamanya. Sementara guru pertamanya adalah Hasyim bin Basyir bin Kazim Al-Wasiti, karena ia adalah guru yang paling kuat pengaruhnya kepada Ibnu Hanbal, Ibnu Hanbal berguru kepadanya selama empat tahun. Disela-sela berguru kepada Hasyim, Ibnu  Hanbal juga berguru kepada Umair bin Abdullah bin Khalid, Abdurrahman bin Mahdi dan Abu bakar bin Iyasy. Imam Syafi’i adalah salah satu guru dari Ibnu Hanbal, bahkan ada yang menganggap bahwa Syafi’I merupakan guru kedua dari Ibnu Hanbal setelah Hasyim. Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah mengatakan “Ahmad bin Hanbal tidak lain hanyalah merupakan salah satu pelayan Syafi’I”. Ia juga berguru kepada Ibrahim bin Sa’ad, Yahya Al-Qathan, Waqi’ dan juga berguru kepada Sufyan bin Uyainah (pengganti Imam Malik).
              Dasar-dasar mazhab
Mazhab Imam Ibnu Hanbal adalah sebagai berikut:
a.        Al-qur’an dan Hadits: yakni beliau jika telah mnemukan nahs dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits maka beliau tidak memperhatikan dalil-dalil yang lain dan juga kepada pendapat para sahabat yang menyalahinya.
b.        Fatwa Shahaby: yaitu ketika beliau tidak mendapatkan nash dan beliau  mendapati suatu pendapat yang tidak diketahuinya bahwa hal itu ada yang menentangnya, maka beliau berpegang kepada pendapat ini, dengan tidak memenadang bahwa pendapat itu merupakan ijma’.
c.        Pendapat Sebagian Sahabat yaitu mengambil pendapat yang lebih dekat kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, terrkadang beliau tidak memberikan fatwa jika tidk memperoleh Pentarjih atas suatu pendapat.
d.        Mursal atau Da’if: Mursal menurut bahasa merupakan isim maf’ul yang berarti dilepaskan. Sedangkan hadits mursal menurut istilah adalah hadits yang gugur perawi dari sanadnya setelah tabi’in. Seperti bila seorang tabi’in mengatakan,”Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda begini atau berbuat begini”.
e.        Qiyas: akan dipakai jika benar-benar tidak ada ketentuan-ketentuan hukumnya dari poin a-d tersebutd di atas, namun Qiyas ini mendapat posisi yang kecil dalam penentuan Hukum (pada masa tersebut), namun tidak menutup kemunkinan Qiyas akan menjadi penting di masa yang akan datang.
              Pendirian Imam Ibnu Hanbal terhadap taklid
            Imam Ibnu Hanbal merupakan seorang ahli sunnah dan ahli Atsar, dan beliau sangat keras terhadap penggunaan ra’yu, maka demikian Imam Ibnu Hanbal paling keras terhadap taqlid buta dan orang yang bertaqlid terhadap urusan agama. Pendirian beliau yang seperti itu dapat dibuktikan dengan ucapannya yang beliau sampaikan kepada salah atu muridnya seperti Imam Abu Dawud pernah mendengar bahwa Imam Ibnu Hanbal berkata “janganlah engkau bertaqlid kepada saya, Imam Malik, Imam Syafi’I, dan janganlah pula kepada Tsauri tetapi ambillah olehmu darimana mereka itu mengambil”. Dari perkataan beliau, jelaslah bahwa beliau melarang keras terhadap taqlid dan beliau memerinntahkan supaya orang mengambil segala sesuatu dari sumber yang telah mereka ambil (para Imam)












2.4 Contoh Kasus       : Qurban
            "Maka laksanakanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah)". (QS. Al Kautsar : 2)
Berqurban merupakan bagian dari Syariat Islam yang sudah ada semenjak manusia ada. Ketika putra-putra Nabi Adam AS diperintahkan berqurban. Maka Allah SWT menerima qurban yang baik dan diiringi ketakwaan dan menolak qurban yang buruk. Allah SWT berfirman, yang artinya:
“Dan ceritakanlah (Muhammad) yang sebenarnya kepada mereka tentang kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil), ketika keduanya mempersembahkan qurban, maka (qurban) salah seorang dari mereka berdua (Habil) diterima  dan yang lain (Qabil) tidak diterima. Ia berkata (Qabil): “Sungguh, aku pasti membunuhmu!” Dia (Habil) berkata: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertaqwa” (QS Al-Maaidah 27).
Qurban lain yang diceritakan dalam Al-Qur’an adalah qurban keluarga Ibrahim AS, saat beliau diperintahkan Allah SWT untuk mengurbankan anaknya, Ismail AS. Disebutkan dalam surat As-Shaaffaat 102: “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. Kemudian qurban ditetapkan oleh Rasulullah SAW sebagai bagian dari Syariah Islam, syiar dan ibadah kepada Allah SWT sebagai rasa syukur atas nikmat kehidupan

Definisi qurban
            Secara harfiah Qurban dalam bahasa Arab artinya dekat. Qurban bisa diartikan sebagai cara untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ibadah qurban disebut juga udzhiyah" artinya hewan yang disembelih sebagai qurban. Menurut bahasa, Qurban berasal dari Bahasa Arab QORUBA yang berarti : dekat. Qurban berarti Pendekatan (PeDeKaTe). Maksudnya ibadah qurban ini adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala (Taqorrub). Sedangkan menurut istilah, Qurban berarti acara penyembelihan binatang ternak yang dilakukan pada Hari Raya Haji (Idul Adha), yaitu tanggal 10, hari Tasyrik (11, 12 dan 13) Dzulhijjah, yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.

Disyariatkannya qurban
            Disyariatkannya qurban sebagai simbol pengorbanan hamba kepada Allah SWT, bentuk ketaatan kepada-Nya dan rasa syukur atas nikmat kehidupan yang diberikan Allah SWT kepada hamba-Nya. Hubungan rasa syukur atas nikmat kehidupan dengan berqurban yang berarti menyembelih binatang dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, bahwa penyembelihan binatang tersebut merupakan sarana memperluas hubungan baik terhadap kerabat, tetangga, tamu dan saudara sesama muslim. Semua itu merupakan fenomena kegembiraan dan rasa syukur atas nikmat Allah SWT kepada manusia, dan inilah bentuk pengungkapan nikmat yang dianjurkan dalam Islam:
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur)” (QS. Ad-Dhuhaa 11).

            Kedua, sebagai bentuk pembenaran terhadap apa yang datang dari Allah SWT. Allah SWT menciptakan binatang ternak itu adalah nikmat yang diperuntukkan bagi manusia, dan Allah mengizinkan manusia untuk menyembelih binatang ternak tersebut sebagai makanan bagi mereka. Bahkan penyembelihan ini merupakan salah satu bentuk pendekatan diri kepada Allah SWT. Berqurban merupakan ibadah yang paling dicintai Allah SWT di hari Nahr, sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat At-Tirmidzi dari ‘Aisyah RA. bahwa Nabi SAW bersabda:
“Tidaklah anak Adam beramal di hari Nahr yang paling dicintai Allah melebihi menumpahkan darah (berqurban). Qurban itu akan datang di hari Kiamat dengan tanduk, bulu dan kukunya. Dan sesungguhnya darah akan cepat sampai di suatu tempat sebelum darah tersebut menetes ke bumi. Maka perbaikilah jiwa dengan berqurban”.

Keutamaan qurban
            Keutamaan qurban dijelaskan oleh sebuah hadits A'isyah :
Rasulullah s.a.w. bersabda :"Sebaik-baik amal Bani Adam bagi Allah di hari Iedul Adha adalah menyembelih qurban. Di hari kiamat hewan-hewan qurban tersebut menyertai Bani Adam dengan tanduk-tanduknya, tulang-tulang dan bulunya, darah hewan tersebut diterima oleh Allah sebelum menetes ke bumi dan akan membersihkan mereka yang melakukannya" (H.R. Tirmidzi, Ibnu Majah).

Hukum ibadah qurban

• Mazhab Hanafi
Wajib. Allah SWT berfirman:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah” (QS Al-Kautsaar: 2). Hadits Abu Hurairah yang menyebutkan Rasulullah s.a.w. bersabda : "Barangsiapa mempunyai kelonggaran (harta), namun ia tidak melaksanakan qurban, maka janganlah ia mendekati masjidku" (H.R. Ahmad, Ibnu Majah). Dalam hadits lain: “Jika kalian melihat awal bulan Zulhijah, dan seseorang di antara kalian hendak berqurban, maka tahanlah rambut dan kukunya (jangan digunting)” (HR Muslim).

• Mazhab Syafi'i
Sunnah ‘ain (menjadi tanggungan individu) bagi setiap individu sekali dalam seumur hidup dan SUNNAH KIFAYAH bagi sebuah keluarga besar. Namun kesunnahan tersebut terpenuhi bila salah satu anggota keluarga telah melaksanakannya. Dalam riwayat Ibnu Abbas Rasulullah s.a.w. bersabda : "Tiga perkara bagiku wajib, namun bagi kalian sunnah, yaitu shalat witir, menyembelih qurban dan shalat iedul adha" (H.R. Ahmad dan Hakim).

            Menurut pendapat jumhur ulama hukum menyembelih hewan qurban adalah sunnah muakkad bagi muslim, yang baligh dan berakal. Tiga hal ini juga menjadi syarat atas setiap perintah yang wajib dan yang sunnah. Khusus untuk melaksanakan ibadah Qurban, juga disyaratkan mampu secara ekonomi untuk melaksanakannya sebagaimana ibadah haji. Bagi seorang muslim atau keluarga muslim yang mampu dan memiliki kemudahan, dia sangat dianjurkan untuk berqurban. Jika tidak melakukannya, menurut pendapat Abu Hanifah, ia berdosa. Dan menurut pendapat jumhur ulama dia tidak mendapatkan keutamaan pahala sunnah.

Waktu penyembelihan qurban
            Waktu penyembelihan hewan qurban yang paling utama adalah hari Nahr, yaitu Raya ‘Idul Adha pada tanggal 10 Zulhijah setelah melaksanakan shalat ‘Idul Adha bagi yang melaksanakannya. Adapun bagi yang tidak melaksanakan shalat ‘Idul Adha seperti jamaah haji dapat dilakukan setelah terbit matahari di hari Nahr. Adapun hari penyembelihan menurut Jumhur ulama, yaitu madzhab Hanafi, Maliki dan Hambali berpendapat bahwa hari penyembelihan adalah tiga hari, yaitu hari raya Nahr dan dua hari Tasyrik, yang diakhiri dengan tenggelamnya matahari. Pendapat ini mengambil alasan bahwa Umar RA, Ali RA, Abu Hurairah RA, Anas RA, Ibnu Abbas dan Ibnu Umar RA mengabarkan bahwa hari-hari penyembelihan adalah tiga hari. Dan penetapan waktu yang mereka lakukan tidak mungkin hasil ijtihad mereka sendiri tetapi mereka mendengar dari Rasulullah SAW (Mughni Ibnu Qudamah 11/114).
Sedangkan mazhab Syafi’i dan sebagian mazhab Hambali juga diikuti oleh Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa hari penyembelihan adalah 4 hari, Hari Raya ‘Idul Adha dan 3 Hari Tasyrik. Berakhirnya hari Tasyrik dengan ditandai tenggelamnya matahari. Pendapat ini mengikuti alasan hadits, sebagaimana disebutkan Rasulullah SAW:
“Semua hari Tasyrik adalah hari penyembelihan” (HR Ahmad dan Ibnu Hibban). Berkata Al-Haitsami:” Hadits ini para perawinya kuat”. Dengan adanya hadits shahih ini, maka pendapat yang kuat adalah pendapat mazhab Syafi’i.

Binatang yang boleh diqurbankan
            Adapun binatang yang boleh digunakan untuk berqurban adalah binatang ternak (Al-An’aam), unta, sapi dan kambing, jantan atau betina. Sedangkan binatang selain itu seperti burung, ayam dll tidak boleh dijadikan binatang qurban. Allah SWT berfirman :
“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (qurban), supaya mereka menyebut nama Allah atas rizqi yang telah dikaruniakan Allah kepada mereka berupa hewan ternak. Maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserahdirilah kamu kepada-Nya. Dan sampaikanlah (Muhammad) kabar gembira kepada orang – orang yang tunduk patuh (kepada Allah)” (QS Al-Hajj 34).

            Kambing untuk satu orang, boleh juga untuk satu keluarga. Karena Rasulullah SAW menyembelih dua kambing, satu untuk beliau dan keluarganya dan satu lagi untuk beliau dan umatnya. Sedangkan unta dan sapi dapat digunakan untuk tujuh orang, baik dalam satu keluarga atau tidak, sesuai dengan hadits Rasulullah SAW:
عن جابرٍ بن عبد الله قال: نحرنا مع رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وسَلَّم بالحُديبيةِ البدنةَ عن سبعةٍ والبقرةَ عن سبعةٍ
Dari Jabir bin Abdullah, berkata “Kami berqurban bersama Rasulullah SAW di tahun Hudaibiyah, unta untuk tujuh orang dan sapi untuk tujuh orang” (HR Muslim).
           
Binatang yang akan diqurbankan hendaknya yang paling baik, cukup umur dan tidak boleh cacat. Rasulullah SAW bersabda:
“Empat macam binatang yang tidak sah dijadikan qurban: 1. Cacat matanya, 2. sakit, 3. pincang dan 4. kurus yang tidak berlemak lagi “ (HR Bukhari dan Muslim). Hadits lain:
“Janganlah kamu menyembelih binatang ternak untuk qurban kecuali musinnah (telah ganti gigi, kupak). Jika sukar didapati, maka boleh jadz’ah (berumur 1 tahun lebih) dari domba” (HR. Muslim).
Musinnah adalah jika pada unta sudah berumur 5 tahun, sapi umur dua tahun dan kambing umur 1 tahun, domba dari 6 bulan sampai 1 tahun. Dibolehkan berqurban dengan hewan kurban yang mandul, bahkan Rasulullah SAW berqurban dengan dua domba yang mandul. Dan biasanya dagingnya lebih enak dan lebih gemuk.

Perbedaan pandangan tentang hukum daging qurban sebagai berikut :

[ 1] Mazhab Hanafi
            Memandang sunah daging hewan kurban itu dibagi tiga: sepertiga sunah dimakan oleh pemiliknya; sepertiga dihadiahkan untuk teman-teman akrab, sekalipun mereka orang kaya; sepertiga lagi disedekahkan kepada orang miskin. Pendapatnya ini didasarkan kepada firman Allah swt : “ Kemudian apabila telah roboh ( mati) , maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya ( yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta.” ( QS.22: 36) . Dan hadits Nabi saw yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, bahwa Nabi saw membagi kurbannya atas tiga bagian: sepertiga untuk keluargana, sepertiga untuk tetangganya yang miskin, dan sepertiga untuk peminta-minta (HR. Hafiz Abu Musa al-Isfahani).

[ 2] Mazhab Hanbali
            Memandang sunah daging hewan kurban itu dibagi tiga: sepertiga sunah dimakan oleh pemiliknya; sepertiga dihadiahkan untuk teman-teman akrab, sekalipun mereka orang kaya; sepertiga lagi disedekahkan kepada orang miskin (sependapat dengan Mazhab Hanafi). Tetapi, mereka memandang wajib bagi pemilik hewan kurban memakan sepertiga dari daging kurbannya, karena perintah yang terkandung dalam ayat di atas mengandung pengertian wajib. Kendati demikian, ulama Mazhab Hanbali membolehkan pemilik kurban memakan daging kurban lebih banyak dari itu.


[ 3] Mazhab Maliki
            Berpendapat bahwa daging kurban tidak perlu dibagi-bagi. Hadits-hadits yang menerangkan adanya pembagian itu semuanya bersifat mutlak, yang memerlukan perincian. Menurut mereka, Rasulullah saw sendiri tidak melarang memakan dan menyimpan daging kurban, tanpa memberikan kepada orang lain, seperti dalam sabda beliau : “ Saya melarang kamu menyimpan daging kurban lebih dari tiga hari, karena kepentingan sekelompok orang badui. Kemudian Allah memberikan kelapangan, maka simpanlah olehmu apa yang ada padamu” (HR. Muslim).
 Suatu waktu Nabi Muhammad SAW melarang kaum muslimin menyimpan daging kurban kecuali dalam batas tertentu, sekedar bekal untuk tiga hari. Akan tetapi, beberapa tahun kemudian peraturan yang ditetapkan oleh Nabi Muhammad saw itu dilanggar oleh para sahabat. Permasalahan itu disampaikan kepada Nabi Muhammad. Beliau membenarkan tindakan para sahabat itu sambil menerangkan bahwa larangan menyimpan daging kurban adalah didasarkan atas kepentingan Al Daffah (tamu yang terdiri dari orang-orang miskin yang datang dari perkampungan sekitar Madinah). Setelah itu, Nabi Muhammad saw bersabda, “ Sekarang simpanlah daging-daging kurban itu, karena tidak ada lagi tamu yang membutuhkannya”. Dari kasus tersebut terlihat, adanya larangan menyimpan daging kurban diharapkan tujuan syariat dapat dicapai, yakni melapangkan kaum miskin yang datang dari dusun-dusun di pinggiran Madinah. Setelah alasan pelarangan tersebut tidak ada lagi, maka larangan itu pun dihapuskan oleh Nabi SAW.

[ 4] Mazhab Syafi’i
            Hukumnya wajib untuk disedekahkan kepada fakir miskin sebagian dari daging kurban sekalipun jumlahnya sedikit, sementara selebihnya diberikan kepada handai taulan, baik kaya maupun miskin, dan pemiliknya sendiri sunah memakannya sekedar sesuap. Dasarnya merujuk kepada firman Allah swt : “ Kemudian apabila telah roboh (mati) , maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta” (QS.22: 36) . “ Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir” (QS.22: 28) . Dan berdasarkan hadits yang mengatakan bahwa, “ Rasulullah saw biasa memakan hati binatang kurbannya” (HR.al-Baihaqi).
Tata cara penyembelihan qurban
            Berqurban sebagaimana definisi di atas yaitu menyembelih hewan qurban, sehingga menurut jumhur ulama tidak boleh atau tidak sah berqurban hanya dengan memberikan uangnya saja kepada fakir miskin seharga hewan qurban tersebut, tanpa ada penyembelihan hewan qurban. Karena maksud berqurban adalah adanya penyembelihan hewan qurban kemudian dagingnya dibagikan kepada fakir miskin. Dan menurut jumhur ulama yaitu mazhab Imam Malik, Ahmad dan lainnya, bahwa berqurban dengan menyembelih kambing jauh lebih utama dari sedekah dengan nilainya. Dan jika berqurban dibolehkan dengan membayar harganya akan berdampak pada hilangnya ibadah qurban yang disyariatkan Islam tersebut. Adapun jika seseorang berqurban, sedangkan hewan qurban dan penyembelihannya dilakukan ditempat lain, maka itu adalah masalah teknis yang dibolehkan. Dan bagi yang berqurban, jika tidak bisa menyembelih sendiri diutamakan untuk menyaksikan penyembelihan tersebut, sebagaimana hadits riwayat Ibnu Abbas ra:
“Hadirlah ketika kalian menyembelih qurban, karena Allah akan mengampuni kalian dari mulai awal darah keluar”.
Ketika seorang muslim hendak menyembelih hewan qurban, maka bacalah: Bismillahi Wallahu Akbar, ya Allah ini qurban si Fulan (sebut namanya), sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW:
“Bismillahi Wallahu Akbar, ya Allah ini qurban dariku dan orang yang belum berqurban dari umatku” (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi).
Bacaan boleh ditambah sebagaimana Rasulullah SAW memerintahkan pada Fatimah rha:
“Wahai Fatimah, bangkit dan saksikanlah penyembelihan qurbanmu, karena sesungguhnya Allah mengampunimu setiap dosa yang dilakukan dari awal tetesan darah qurban, dan katakanlah:” Sesungguhnya shalatku, ibadah (qurban) ku, hidupku dan matiku lillahi rabbil ‘alamiin, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan oleh karena itu aku diperintahkan, dan aku termasuk orang yang paling awal berserah diri” (HR Al-Hakim dan Al-Baihaqi).

Berqurban dengan cara patungan

            Qurban dengan cara patungan, disebutkan dalam hadits dari Abu Ayyub Al-Anshari :
“Seseorang di masa Rasulullah SAW berqurban dengan satu kambing untuk dirinya dan keluarganya. Mereka semua makan, sehingga manusia membanggakannya dan melakukan apa yang ia lakukan” (HR Ibnu Majah dan At-Tirmidzi).
Berkata Ibnul Qoyyim dalam Zaadul Ma’ad:
“Di antara sunnah Rasulullah SAW bahwa qurban kambing boleh untuk seorang dan keluarganya walaupun jumlah mereka banyak sebagaimana hadits Atha bin Yasar dari Abu Ayyub Al-Anshari. Disebutkan dalam hadits Rasulullah SAW :
عن أبي الأسود السلمي، عن أبيه، عن جده قال: كنت سابع سبعة مع رسول الله -صلَّى الله عليه وسلَّم- في سفره، فأدركنا الأضحى. فأمرنا رسول الله -صلَّى الله عليه وسلم-، فجمع كل رجل منا درهما، فاشترينا أضحية بسبعة دراهم. وقلنا: يا رسول الله، لقد غلينا بها. فقال: (إن أفضل الضحايا أغلاها، وأسمنها) قال: ثم أمرنا رسول الله -صلَّى الله عليه وسلم-، فأخذ رجل برِجل، ورجل برِجل، ورجل بيد، ورجل بيد، ورجل بقرن، ورجل بقرن، وذبح السابع، وكبروا عليها جميعا.
Dari Abul Aswad As-Sulami dari ayahnya, dari kakeknya, berkata: Saat itu kami bertujuh bersama Rasulullah saw, dalam suatu safar, dan kami mendapati hari Raya ‘Idul Adha. Maka Rasulullah SAW memerintahkan kami untuk mengumpulkan uang setiap orang satu dirham. Kemudian kami membeli kambing seharga 7 dirham. Kami berkata:” Wahai Rasulullah SAW harganya mahal bagi kami”. Rasulullah SAW bersabda:” Sesungguhnya yang paling utama dari qurban adalah yang paling mahal dan paling gemuk”. Kemudian Rasulullah SAW memerintahkan pada kami. Masing-masing orang memegang 4 kaki dan dua tanduk sedang yang ketujuh menyembelihnya, kemudian kami semuanya bertakbir” (HR Ahmad dan Al-Hakim).
Dan berkata Ibnul Qoyyim dalam kitabnya ‘Ilamul Muaqi’in setelah mengemukakan hadits tersebut: “Mereka diposisikan sebagai satu keluarga dalam bolehnya menyembelih satu kambing bagi mereka. Karena mereka adalah sahabat akrab. Oleh karena itu sebagai sebuah pembelajaran dapat saja beberapa orang membeli seekor kambing kemudian disembelih. Sebagaimana anak-anak sekolah dengan dikoordinir oleh sekolahnya membeli hewan qurban kambing atau sapi kemudian diqurbankan. Dalam hadits lain diriwayatkan oleh Ahmad dari Ibnu Abbas, datang pada Rasulullah SAW seorang lelaki dan berkata:
“Saya berkewajiban qurban unta, sedang saya dalam keadaan sulit dan tidak mampu membelinya”. Maka Rasulullah SAW memerintahkan untuk membeli tujuh ekor kambing kemudian disembelih”.

Hukum menjual bagian qurban
            Orang yang berqurban tidak boleh menjual sedikitpun hal-hal yang terkait dengan hewan qurban seperti, kulit, daging, susu dll dengan uang yang menyebabkan hilangnya manfaat barang tersebut. Jumhur ulama menyatakan hukumnya makruh mendekati haram, sesuai dengan hadits:
“Siapa yang menjual kulit hewan qurban, maka dia tidak berqurban” (HR. Hakim dan Baihaqi). Kecuali dihadiahkan kepada fakir-miskin, atau dimanfaatkan maka dibolehkan. Menurut mazhab Hanafi kulit hewan qurban boleh dijual dan uangnya disedekahkan. Kemudian uang tersebut dibelikan pada sesuatu yang bermanfaat bagi kebutuhan rumah tangga.

Hukum memberi upah tukang jagal qurban
            Sesuatu yang dianggap makruh mendekati haram juga memberi upah tukang jagal dari hewan qurban. Sesuai dengan hadits dari Ali ra:
“Rasulullah SAW memerintahkanku untuk menjadi panitia qurban (unta) dan membagikan kulit dan dagingnya. Dan memerintahkan kepadaku untuk tidak memberi tukang jagal sedikitpun”. Ali berkata:” Kami memberi dari uang kami” (HR Bukhari).

Hukum berqurban atas nama orang yang meninggal
            Berqurban atas nama orang yang meninggal jika orang yang meninggal tersebut berwasiat atau wakaf, maka para ulama sepakat membolehkan. Jika dalam bentuk nadzar, maka ahli waris berkewajiban melaksanakannya. Tetapi jika tanpa wasiat dan keluarganya ingin melakukan dengan hartanya sendiri, maka menurut jumhur ulama seperti mazhab Hanafi, Maliki dan Hambali membolehkannya. Sesuai dengan apa yang dilakukan Rasulullah SAW. Beliau menyembelih dua kambing yang pertama untuk dirinya dan yang kedua untuk orang yang belum berqurban dari umatnya. Orang yang belum berqurban berarti yang masih hidup dan yang sudah mati. Sedangkan mazhab Syafi’i tidak membolehkannya. Anehnya, mayoritas umat Islam di Indonesia mengikuti pendapat jumhur ulama, padahal mereka mengaku pengikut mazhab Syafi’i.

Kategori penyembelihan
            Amal yang terkait dengan penyembelihan dapat dikategorikan menjadi empat bagian. Pertama, hadyu; kedua, udhiyah sebagaimana diterangkan di atas; ketiga, aqiqah; keempat, penyembelihan biasa. Hadyu adalah binatang ternak yang disembelih di Tanah Haram di hari-hari Nahr karena melaksanakan haji Tamattu’ dan Qiran, atau meninggalkan di antara kewajiban atau melakukan hal-hal yang diharamkan, baik dalam haji atau umrah, atau hanya sekedar pendekatan diri kepada Allah SWT sebagai ibadah sunnah. Aqiqah adalah kambing yang disembelih terkait dengan kelahiran anak pada hari ketujuh sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah. Jika yang lahir lelaki disunnahkan 2 ekor dan jika perempuan satu ekor.
Sedangkan selain bentuk ibadah di atas, masuk ke dalam penyembelihan biasa untuk dimakan, disedekahkan atau untuk dijual, seperti seorang yang melakukan akad nikah. Kemudian dirayakan dengan walimah menyembelih kambing. Seorang yang sukses dalam pendidikan atau karirnya kemudian menyembelih binatang sebagai rasa syukur kepada Allah SWT. Jika terjadi penyembelihan binatang ternak dikaitkan dengan waktu tertentu, upacara tertentu dan keyakinan tertentu maka dapat digolongkan pada hal yang bid’ah, sebagaimana yang terjadi di beberapa daerah. Apalagi jika penyembelihan itu tujuannya untuk syetan atau Tuhan selain Allah maka ini adalah jelas-jelas sebuah bentuk kemusyrikan.


























BAB III PENUTUP 

            Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dan menjadi bagian dari agama. Adapun konsepsi hukum Islam, dasar kerangkanya dari Allah swt. Hukum tersebut mengatur hubungan manusia dengan Illah, hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dalam masyarakat dan hubungan manusia dengan benda serta alam sekitar.
Menurut bahasa, mazhabمذهب) ) berasal dari shighah mashdar mimy (kata sifat) dan isim makan (kata yang menunjukkan tempat) yang diambil dari fi'il madhy "dzahaba" (ذهب) yang berarti "pergi". Bisa juga berarti al-ra'yu (الرأى) yang artinya "pendapat". Sedangkan yang dimaksud dengan mazhab menurut istilah, meliputi dua pengertian, yaitu:
a. Mazhab adalah jalan pikiran atau metode yang ditempuh oleh seorang Imam Mujtahid dalam menetapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan kepada Al-Qur'an dan hadits.
b. Mazhab adalah fatwa atau pendapat seorang Imam Mujtahid tentang hukum suatu peristiwa yang diambil dari Al-Qur'an dan hadits.
Jadi, mazhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh Imam Mujtahid dalam memecahkan masalah, atau mengistinbathkan hukum Islam.
Imam Mazhab, diantaranya :
Mazhab Hanafi, dasar istinbath :
Al-Qur’an
Hadits
Aqwalus shahabah (Ucapan Para Sahabat)     
Qiyas
Istihsan
 Urf


Mazhab Maliki, dasar istinbath :
Al-qur’an
Sunnah rasul yang beliau pandang sah.
Ijma’ para Ulama Madinah
Qiyas
 Mashalihul Mursalah (Istislah)

Mazhab Syafi’i, dasar istinbath :
Al-qur’an
Hadits
  Ijma’
Qiyas 
Istishhab

Mazhab Hanbali, dasar istinbath :
Al-qur’an dan Hadits
Fatwa Shahaby.        
Pendapat Sebagian
Mursal atau Da’if.
 Qiyas

            Sesuatu yang perlu diperhatikan bagi umat Islam adalah bahwa berqurban (udhiyah), qurban (taqarrub) dan berkorban (tadhiyah), ketiganya memiliki titik persamaan dan perbedaan. Qurban (taqarrub), yaitu upaya seorang muslim melakukan pendekatan diri kepada Allah dengan amal ibadah baik yang diwajibkan maupun yang disunnahkan. Rasulullah SAW bersabda:
Sesungguhnya Allah berfirman (dalam hadits Qudsi): “Siapa yang memerangi kekasih-Ku, niscaya aku telah umumkan perang padanya. Tidaklah seorang hamba mendekatkan diri pada-Ku (taqarrub) dengan sesuatu yang paling Aku cintai, dengan sesuatu yang aku wajibkan. Dan jika hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan yang sunnah, maka Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku menjadi pendengarannya dimana ia mendengar, menjadi penglihatannya dimana ia melihat, tangannya dimana ia memukul dan kakinya, dimana ia berjalan. Jika ia meminta, niscaya Aku beri dan jika ia minta perlindungan, maka Aku lindungi” (HR. Bukhari).

            Berqurban (udhiyah) adalah salah satu bentuk pendekatan diri kepada Allah dengan mengorbankan sebagian kecil hartanya, untuk dibelikan binatang ternak. Menyembelih binatang tersebut dengan persyaratan yang sudah ditentukan. Sedangkan berkorban (tadhiyah) mempunyai arti yang lebih luas yaitu berkorban dengan harta, jiwa, pikiran dan apa saja untuk tegaknya Islam. Dalam suasana dimana umat Islam di Indonesia sedang terkena musibah banjir, dan mereka banyak yang menjadi korban. Maka musibah ini harus menjadi pelajaran berarti bagi umat Islam. Apakah musibah ini disebabkan karena mereka menjauhi Allah SWT dan menjauhi ajaran-Nya? Yang pasti, musibah ini harus lebih mendekatkan umat Islam kepada Allah (taqqarub ilallah). Melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dan yang tidak tertimpa musibah banjir ini dituntut untuk memberikan kepeduliannya dengan cara berkorban dan memberikan bantuan kepada mereka yang terkena musibah. Dan di antara bentuk pendekatan diri kepada Allah dan bentuk pengorbanan kita dengan melakukan qurban penyembelihan sapi dan kambing pada hari Raya ‘Idul Adha dan Hari Tasyrik. Semoga Allah menerima qurban kita dan meringankan musibah ini dan yang lebih penting lagi menyelamatkan kita dari api neraka.

Wallahu a’lam bishshawaab.




DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama RI.2005.”Al-Quran dan Terjemahnya”. Jakarta : Pustaka       Amani.

Hassan, Abdul Qadir.1985. Soal Jawab Masalah Agama. Bandung : CV    Diponegoro.

Malik, M. Abduh. Uswatun Hasanah. Mujilan  dan Nurwahidin. 2009. Pengembangan Kepribadian Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi. Jakarta : Direktorat Jenderal Pendidikan Agama Islam Direktorat Pendidikan Tinggi Islam.

Miftahur.2009.Hukum dan tata cara Qurban.Diunduh dari www.dakwatuna.com             pada hari Rabu, 1 Oktober 2013.

Rasjid, Sulaiman.1954.Fiqh Islam. Bandung : Sinar Baru Algesindo.

Salafudin. Sejarah dan Tokoh 4 Mazhab Islam. Diunduh dari www.salaf.web.id    pada 24 September 2013.














BIOGRAFI PENULIS

CHAERUL HUDA
JUNI SAGITO
SARAH
                



1 komentar:


  1. binatang qurban baik kambing atau sapi yang baik sesuai syarat sah untuk qurban, semoga banyak yang dapat merasakan bahagia mendapatkan qurban

    BalasHapus